*Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Untuk menonton televisi, masyarakat Jabodetabek kini sudah beralih ke siaran TV digital. Sebab, antena konvensional saat ini sudah dimatikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada Rabu, 2 November 2022 tepat pukul 24.00 WIB.
Dengan beralih ke siaran digital, pemerintah menjanjikan pengalaman menikmati konten siaran televisi lokal yang lebih baik bagi masyarakat.
Meski begitu, penghentian siaran TV analog atau analog switch off (ASO) ini masih belum bisa diterima oleh kalangan masyarakat Gorontalo. Sebab, sebagian besar masyarakat daerah serambi madinah masih menggunakan TV analog.
"Kami sudah tahu, bahwa di Jabodetabek ini sudah diberlakukan program TV digital. Tetapi kami belum bisa beralih ke program ini, alasannya salah satunya ketersediaan alat Set Top Box," kata Abd Farid warga Kota Gorontalo kepada Liputan6.com Sabtu (05/11/2022).
Selain itu kata Farid, bahwa penghentian secara serentak siaran TV analog ini dinilai menyusahkan warga Jabodetabek. Harusnya yang dilakukan pemerintah bukan mematikan siarannya, akan tetapi menghentikan penjualan alat TV analog.
"Nah, maksud saya pemerintah tidak harus mematikan siaran ini secara serentak. kalau begini masyarakat yang belum memiliki set top box malah tidak bisa menonton," ujarnya.
"Harusnya, biarlah TV digital di launching dulu sampai masyarakat benar-benar siap beralih. Kalau alat TV analog sudah tidak diproduksi lagi, saya yakin dan percaya masyarakat pasti pindah ke analog," ungkapnya.
Menurutnya, program ASO ini secara tidak langsung memaksa warga untuk membeli set top box (STB). Mungkin, tidak masalah bagi masyarakat yang punya mendapatan di atas rata-rata.
"Bagaimana dengan masyarakat yang belum mampu membeli alat itu. Makan sehari-hari saja mereka susah apalagi harus dipaksa membeli STB," katanya.
Di tempat yang berbeda, Hendrik warga Kabupaten Bone Bolango (Bonebol) meminta kepada pemerintah, jika siaran TV digital bakal diterapkan di Gorontalo, terlebih dahulu yang harus dilakukan ialah membagikan set top box secara gratis ke masyarakat.
"Bagikan dulu secara gratis, memang sudah ada yang dibagikan. Tetapi belum semua masyarakat mendapatkan itu," kata Hendrik.
"Kalau tidak begitu, maka yang diuntungkan hanyalah perusahaan atau penjual STB. Selain itu harus ada sosialisasi secara intensif dari pemerintah daerah ke kalangan masyarakat bawah," ia menandaskan.
Perkembangan teknologi memang tidak bisa dipungkiri, termasuk dalam bidang telekomunikasi. Jika dulu hanya berkutat pada korespondensi surat-menyurat, dengan teknologi modern yang serba digital semua akses informasi bisa didapat dengan lebih cepat dan lebih luas. Dengan adanya perkembangan internet, TV digital, dan sebagainya, ini menjadi bukti fisik perkembangan tersebut. Namun sayangnya, perkembangan teknologi saat ini tidak bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat. Seperti transformasi TV digital misalnya, tak semua kalangan masyarakat siap dengan perubahan ini akibat beban ekonomi yang semakin tinggi. Apalagi saat ini, hampir semua sektor kebutuhan publik termasuk telekomunikasi jadi bahan komersialisasi.
Layanan telekomunikasi selama ini tak murni disediakan oleh pemerintah, namun juga ada kendali dari pihak industri. Maka, dengan adanya efisiensi frekuensi, justru akan menguntungkan korporasi telekomunikasi. Alhasil, dibalik gemerlap kecanggihan teknologi digital, akan ada masyarakat yang tak melek teknologi dan tetap saja berkutat dengan hidup berteknologi manual. Atau beban hidup mereka akan semakin bertambah hanya untuk mendapatkan layanan tersebut terasa begitu mahal.
Inilah atmosfer kehidupan dalam sistem sekulerisme-kapitalisme. Pemilik teknologi adalah yang punya modal besar dan mayoritas dari mereka adalah swasta. Karena bagi kapitalisme, teknologi adalah salah satu komoditas ekonomi, orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menikmati layanan teknologi. Akibatnya, lambat laun manusia malah dianggap tak punya fungsi hanya gara-gara mereka gagap teknologi (gaptek).
Sangat berbeda dengan sistem Khilafah dalam memandang urusan teknologi. Faktanya, teknologi adalah instrumen pendukung kehidupan, sehingga makin luas teknologi, semestinya berbanding lurus dengan makin luas pula penyediaan lapangan kerja dan pengelolaan kehidupan yang lebih baik.
Kondisi demikianlah yang akan diciptakan oleh Khilafah.
Sebab, keberadaan Khilafah adalah sebagai pelayanan (rain) bagi warga negaranya, termasuk perihal kebutuhan telekomunikasi. Dalam Khilafah kebutuhan tersebut merupakan salah satu jenis infrastruktur.
Syekh Abdul Qadim Zalum, dalam kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah menjelaskan, "Sarana pelayanan pos, surat-menyurat, telepon, kiriman kilat, teleks, sarana televisi, perantara satelit, dan lain-lain,,"merupakan salah satu jenis infrastruktur milik negara yang disebut dengan marafiq,"
Marafiq adalah bentuk jamak dari kata "mirfaq".
Yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan di pedesaan, propinsi, maupun yang dibuat oleh negara, selama sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu.
Marafiq ammah ialah seluruh sarana umum yang disediakan negara, agar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Maka, perkembangan TV analog ke digital dan efisiensi pengguna frekuensi, semata-mata akan dikembangkan untuk memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi.
Pengembangan ini tentu akan dibiayai oleh Khilafah, yang dananya berasal dari Baitul Mal pos kepemilikan negara. Adapun pos kepemilikan negara, berasal dari harta usyur, kharaj, ghanimah, jizyah, dan sejenisnya.
Tanggung jawab penuh Khilafah dalam menyediakan layanan publik telekomunikasi, tentu akan mambuat masyarakat siap dengan berbagai transformasi teknologi.
Apalagi telekomunikasi sebagai salah satu perangkat media akan menjadi pusat perhatian, maka efisiensi frekuensi yang disinyalir dapat mempercepat perkembangan internet akan digunakan untuk kepentingan media.
Sebab, media dalam Khilafah, memiliki peran yang sangat strategis dalam melayani ideologi Islam. Di luar negeri, media Khilafah akan berfungsi menyebarkan Islam, baik dalam nuansa perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam dan sekaligus untuk membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia, sehingga makin tampak kewibawaan Khilafah di kancah politik internasional.
Sedangkan di dalam negeri, media akan digunakan sebagai sarana membangun masyarakat Islam yang kokoh. Yakni, untuk mengedukasi umat dengan tsaqofah Islam, berita keseharian, ilmu sains dan teknologi maupun informasi politik Islam, serta informasi politik dalam dan luar negeri.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
kolom opini