Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Presiden Joko Widodo mengatakan, dunia tidak siap menghadapi pandemi karena sampai saat ini tidak memiliki arsitektur kesehatan yang memadai untuk mengelolanya.
Hal itu, menurut dia, terbukti dari pengalaman dunia menghadapi pandemi Covid-19 selama tiga tahun belakangan ini.
"Tiga tahun terakhir kita menghadapi disrupsi terberat. Pandemi Covid-19 telah terbukti bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi, dunia tidak mempunyai arsitektur kesehatan yang ada untuk mengelola pandemi," ujar Jokowi saat peluncuran Pandemic Fund di Nusa Dua, Bali, pada Minggu (12/11/2022).
Oleh karena itu, Jokowi menekankan agar ketahanan komunitas internasional semakin diperkuat dalam menghadapi pandemi.
Kepala negara menegaskan, pandemi tidak boleh memakan banyak korban jiwa maupun meruntuhkan sendi-sendi perekonomian global.
"Dengan semangat itulah Presidensi Indonesia G20 terus mendorong penguatan arsitektur kesehatan global untuk mewujudkan sistem kesehatan global yang lebih handal terhadap krisis dalam jangka pendek," kata Jokowi.
Sehingga, setidaknya diperlukan dana sebesar Rp 31,1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk membiayai persiapan pencegahan terhadap pandemi.
Dana tersebut digunakan untuk membiayai sistem pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon terhadap pandemi di masa yang akan datang. Bencana Covid 19 yang menerjang dunia 3 tahun terakhir, telah menjadi pukulan telak di semua negara, tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun.
Publik harus menyadari kegagalan penanganan pandemi Covid 19, yang harus ditelan dunia global ini bukan semata-mata karena faktor alamiah pandemi itu sendiri. Kegagalan tersebut sebenarnya akibat dari penerapan sistem batil bernama kapitalisme. Sebuah sistem yang memiliki ciri khas, yaitu menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama dalam tiap kebijakanya, termasuk dalam sistem kesehatan.
Sistem kesehatan kapitalisme dibangun dari paradigma bisnis. Perjanjian GATS oleh WTO di bulan Januari 1995, telah menjadikan 12 sektor jasa sebagai jalan kran investasi dan liberalisasi. Dan sektor kesehatan menjadi salah satu daftar dari sektor tersebut. Sehingga publik bisa melihat, model-model kebijakan kapitalis dalam menangani pandemi, justru lebih mengutamakan keuntungan materi daripada nyawa manusia.
Pada awalnya, dunia global gagap menghadapi pandemi karena mementingkan urusan ekonomi, akhirnya penyebaran semakin meluas dan keluarlah kebijakan lockdown global yang mematikan ekonomi dunia. Kapitalisme menyadari kebijakan tersebut sangat merugikan, kemudian muncul kebijan new normal yang justru makin menambah krisis kesehatan karena banyak menimbulkan korban jiwa. Alhasil, kolepsnya 2 sektor penting kehidupan sekaligus yakni kesehatan dan ekonomi memberi efek domino yang sangat luar biasa di bidang lainnya.
Tak berhenti sampai disitu, tatkala umat manusia membutuhkan obat untuk menangani dan mencegah infeksi Covid 19, kapitalisme memandang ini sebagai sebuah kesempatan yang besar. Hal ini terbukti dengan pembuatan vaksin sebagai ladang bisnis industri-industri kesehatan.
Dikutip dari CNBC.com, pada 18 Februari 2022, penjualan vaksin Astra Zeneca memberi keuntungan sebesar U$$ 37,4 miliar atau sekitar Rp 536 triliun pada perusahaan.
Bahkan kabar terbaru vaksin-vaksin yang beredar ternyata belum teruji klinis. Begitu pula dengan kebijakan tes PCR sebagai syarat perjalanan, nyatanya tes ini dijadikan ladang bisnis penguasa kapitalisme. Inilah akar masalah kegagalan dunia menghadapi pandemi. Persoalanya adalah paradigmatik, yakni kesehatan legal untuk dikapitalisasi. Sehingga "pandemic fund" bukan solusi fundamental, karena solusi ini hanya terikat dengan bantuan pendanaan bukan persoalan paradigmatik. Jadi selamanya sistem kesehatan kapitalisme tak akan mampu membangun arsitek kesehatan yang handal untuk menghadapi bencana kesehatan.
Satu-satunya sistem yang berhasil melindungi dan menjaga nyawa manusia dalam kondisi apapun, baik dalam kondisi normal ataupun saat pandemi adalah sistem kesehatan Islam. Sistem ini secara praktis diterapkan oleh Daulah Khilafah. Salah satu dalilnya adalah perbuatan Rasulullah " Ketika menjabat sebagai kepala negara Madinah pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay, (HR. Muslim).
"Ketika Nabi mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqaukis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat, (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, dan Ahmad).
Dari dalil ini pula, Islam memandang kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar publik yang mutlak ditanggung oleh negara. Negara wajib membiayai semua fasilitas yang terkait dengan layanan kesehatan. Mulai dari sarana kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis, dan sebagainya. Kesehatan haram untuk dikapitalisasi oleh siapapun baik individu, swasta, bahkan negara. Bahkan realisasi jaminan kesehatan yang demikian ditopang sistem keuangan Islam yang kokoh. Dalam Islam, sistem keuangan tersebut terwujud dalam bentuk Baitul Mal, sebuah lembaga keuangan Daulah Khilafah.
Baitul Mal memiliki 3 pos sumber pemasukan. Yaitu pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat. Untuk menjamin biaya kesehatan beserta kelengkapannya, Khilafah bisa mengambil dari pos kepemilikan umum. Pemasukan pos ini berasal dari hasil SDA yang dikelola secara syar'i oleh Daulah Khilafah. Sementara untuk biaya nakes dan ketersediaanya, Khilafah bisa mengambil dari pos kepemilikan negara, dimana pos ini berasal harta usyur, kharaj, jizyah, ghanimah, ghulul, dan sejenisnya.
Dana ini akan digunakan Khilafah untuk menanggung biaya kesehatan, sehingga tak ada satupun warga negara Khilafah yang tidak mendapat jaminan kesehatan secara gratis dan berkualitas. Baik kaya atau pun miskin mereka mendapat layanan yang sama. Adanya Khilafah, maka sebuah negara tak perlu patungan untuk membiayai kesehatan, apalagi jika patungan dana harus melibatkan pihak swasta seperti pandemic fund, bisa dipastikan masyarakat lagi-lagi akan merogoh kocek mereka untuk mendapat jaminan kesehatan.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini