*Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Rangkaian acara utama G20 dimulai hari ini (13/11). Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan seluruh kesiapan KTT sudah 100 persen.
Dengan mengusung prinsip inklusivitas, KTT G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sebagai tuan rumah tahun ini akan melibatkan 17 kepala negara/pemerintahan dan 3.443 delegasi.
Menurut Luhut, pemimpin negara G20 yang telah mengonfirmasi hadir dalam KTT G20 di Bali adalah Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Prancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.
Sementara itu, kepala negara/pemerintahan dari Rusia, Brasil, dan Meksiko menyatakan tidak dapat hadir. Presiden Rusia Vladimir Putin mungkin hadir secara virtual. ”Mereka (Rusia) sepertinya akan virtual ya,” kata Luhut dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, kemarin (12/11).
Menyoal berbagai kekhawatiran puncak acara KTT G20 tidak mencapai komunike dari para kepala negara, Luhut tak ambil pusing. Menurut dia, mencapai komunike atau tidak, yang jelas G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sudah menghasilkan banyak kesepakatan di berbagai bidang. Juga memberikan dampak ekonomi yang sangat besar bagi RI. ”Kalau pada akhirnya tidak mencapai leaders communique, ya sudah nggak apa-apa. Banyak hal yang sudah kami hasilkan, berbagai macam, dan bahkan kalau dihitung dari sisi ekonomi sudah mencapai miliaran dolar AS,” jelas ketua Bidang Dukungan Penyelenggaraan Acara G20 itu.
Perlu dipahami, bahwa persoalan yang dihadapi negeri (Indonesia) saat ini adalah tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan soaial, kerawanan atau konflik sosial, dan masih banyak persoalan lainnya. Keberadaan Indonesia sebagai presidensi G20, nyaris hanyalah seperti EO yang melayani kepentingan negara besar. Pasalnya, meskipun negeri ini mengklaim mendapatkan keuntungan ekonomi dari KTT G20 tahun ini, namun apakah benar keuntungan tersebut dapat dirasakan oleh rakyat secara luas ? dan bukan hanya sesaat saja ?
Faktanya, Indonesia hanyalah pasar bagi negara maju. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam kapitalisme dunia ini terbagi menjadi negara produsen dan negara konsumen. Negara produsen adalah tempat asal pemilik korporasi global yang bebas mengatur produksi di seluruh dunia sesuai dengan kepentingan ekonominya.
Mengacu kepada negara-negara yang tergabung dalam the group of Twenty (G20), maka negara produsen yang dimaksud tentulah negara adidaya dunia.
Amerika Serikat beserta negara maju lainnya, seperti Canada, Prancis, Jerman, Inggris, Australia, Uni Eropa, Cina, dan sebagainya.
Sedangkan di pihak lain, terdapat negara yang posisinya sebagai konsumen, seperti Indonesia, Argentina, Meksiko, Arab Saudi, dll.
Negara-negara produsen membutuhkan pasar potensial bagi hasil produk barang dan jasa mereka. Karena itu, mereka mengumpulkan negara-negara konsumen bersama kelompok negara produsen untuk memastikan agar proses produksi dan jual beli berjalan secara konsisten, bahkan meningkat pesat. Bila menilik latar belakang pembentukan forum ini, maka tidak akan jauh dari tujuan penjajahan yang melekat erat dengan ideologi kapitalisme. Negeri ini memiliki kekayaan SDA yang luar biasa yang sangat menguntungkan produsen untuk memenuhi kebutuhan bahan baku sekaligus pasokan energinya.
Indonesia memiliki tempat untuk proses produksi menjajikan, yang jelas menjadi pertimbangan efisiensi bagi para kapitalis. Mengingat posisi Indonesia hanya menjadi sasaran dan tujuan hegemoni negara produsen dalam G20, maka segenap potensi Indonesia hanya akan menjadi bancakan Amerika Serikat dan kroni-kroninya demi mempertahankan manfaat politik dan ekonomi yang selama ini mereka nikmati.
Wajar saja, jika banyak negara yang tertarik membangun kerja sama dengan Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Luhut. Oleh karena itu, semua mekanisme yang mengikat dalam forum ekonomi internasional baik G20 atau yang lainnya, hanyalah sekedar proyek penjajahan ekonomi. Forum G20 jelas mengacu pada sistem kapitalisme yang justru terbukti telah memporak-porandakan ekonomi dunia dan memperluas penjajahan di negeri-negeri Islam.
Sistem ini hanya menghasilkan krisis yang terus-menerus berulang secara siklik dan periodik. Karena itulah, kaum muslimin harus menyadari pentingnya kemandirian politik, sehingga mampu menentukan sikap dan masa depannya sendiri tanpa harus ada dalam setiran kapitalisme global. Hanya arah pandang terhadap politik Islam di bawah ideologi Islam yang dapat menjadi metode kebangkitan kaum muslimin saat ini.
Inilah satu-satunya manifestasi yang layak menuju kepemimpinan dunia yang hakiki.
Sistem ekonomi Islam berbasis pada sistem keuangan nonriba, apabila riba hilang dalam perekonomian dunia, maka akan menjadi seperti peradaban Islam dalam Khilafah Islamiyah yang pertama. Yakni mampu berhasil mewujudkan sistem ekonomi yang melejitkan produktivitas.
Kebijakan sistem fiskal Khilafah dalam bentuk pemberlakuan sistem Baitulmal, terbukti melejitkan sistem penerimaan negara dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan tanpa harus mengenakan pajak kepada rakyatnya.
Begitu juga dengan sistem moneter Islam, yakni emas dan perak telah berhasil mewujudkan stabilitas sistem moneter dunia. Sistem ekonomi Islam akan menghasilkan stabilitas ekonomi yang terus-menerus hingga menciptakan kesejahteraan yang merata atas seluruh rakyat.
Hubungan dagang dengan luar negeri pun terkontrol dalam mekanisme yang menjamin kemandirian dan keamanan negara. Bila demikian solusinya, Indonesia dan negeri muslim lainnya akan terbebas dari penjajahan negara produsen (adidaya). Tak akan ada lagi forum internasional yang harus diikuti demi kepentingan negara besar.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini