Misteri APBN di Negeri Kapitalis




Oleh: Resa Ristia Nur Aidah


Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta kementerian/lembaga untuk menghabiskan sisa anggaran belanja APBN yang jumlahnya masih sekitar Rp1.200 triliun sampai akhir tahun ini.
Tercatat, hingga akhir September 2022 belanja negara sudah terealisasi Rp1.913,9 triliun atau baru terserap 61,6 persen dari target Rp3.106,4 triliun. Artinya, masih ada sisa belanja Rp1.000 triliun lebih yang harus dihabiskan dari Oktober-Desember 2022. [Cnnindonesia]
 
Serapan anggaran baru sebesar 61,6% pada bulan september menunjukkan kinerja pemerintah yang tidak baik.  Di sisi lain juga menggambarkan ketidak jelasan arah pembangunan, yang tidak berdasarkan kepada kebutuhan dan kemaslahatan umat.

Seperti halnya proyek IKN yang sejak awal merupakan keinginan pemerintah, bukan tuntutan rakyat. Bahkan, perlu tidaknya pemindahan ibu kota masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Lantas, mengapa terburu-buru membangun IKN? Sejumlah pihak menduga proyek IKN bukanlah proyek rakyat, tetapi proyek oligarki.

Proyek IKN ini diduga telah menjadi ajang bisnis segelintir pihak dengan memanfaatkan proyek negara. Ketika lebih dari separuh proyek ini didanai APBN maka uang amanah dari rakyat tersebut akan mengalir ke kantong-kantong sejumlah oknum. Kekhawatiran akan hal ini telah mendorong sejumlah pihak untuk menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi.

Apalagi banyak  layanan publik yang belum optimal, dan kebutuhan dana besar untuk  anggaran beberapa bidang, namun faktanya justru kurang dan malah  dikurangi (seperti dana riset, hankam). Sementara selalu dinarasikan ada defisit anggaran, sehingga subsidi dikurangi bahkan dihapuskan, nyatanya dana tidak terserap dan bersisa.

Sungguh nyata kerusakan sistem anggaran dalam sistem demokrasi, dengan serapan dana rendah, bagaimana mungkin rakyat terlayanai dengan baik kebutuhannya?

Padahal APBN merupakan amanah rakyat terhadap pemerintah. Apalagi dengan postur APBN Indonesia yang didominasi dari pajak yang disetor rakyat. Dana yang ada di dalamnya harus digunakan untuk semaksimal mungkin kemaslahatan rakyat.

Pemerintah memang memiliki wewenang menggunakan APBN. Namun, pemerintah tidak boleh mengalokasikan APBN untuk proyek-proyek yang hanya mengejar pencitraan, bukan proyek yang benar-benar dibutuhkan rakyat.

Berbeda halnya dengan Islam. Islam mengatur penggunaan uang negara dengan sangat amanah. Setiap dinar dan dirham harus dipertanggungjawabkan oleh pemimpin kepada Allah Swt. Hal ini karena posisi pemimpin adalah sebagai pengurus rakyat. Rasulullah saw. bersabda,

اَلْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.”  (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Sistem anggaran dalam Islam, di bawah kendali Khalifah yang berperan sebagai Ra’in akan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan umat. Saat itu Khilafah bergelimang harta. Namun, harta tersebut dialokasikan untuk kemaslahatan seluruh rakyat, sedangkan pemimpinnya hidup sederhana. Sungguh terbalik dengan kondisi di negeri ini. Ketika utang negara menggunung, uangnya justru digunakan mendanai proyek yang hanya menguntungkan oligarki. Wallāhu a'lam bi Ash-Shawāb

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak