Oleh : Afrin Azizah
Kekerasan seksual pada perempuan marak terjadi dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Seperti yang sedang hangatnya dibicarakan tentang seorang dukun (BT) “ Pesulap Hijau “, merupakan tersangka dari kasus kekerasan seksual yang dialami oleh seorang Ibu muda berinisial (HY) di Padang Tiji, Aceh. ( www.idntimes.com 11/11/2022 )
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ( Komnas Perempuan ) berpendapat, bahwa bentuk penghukuman yang menjadi simbol otonomi khusus Aceh seperti yang tercantum pada Qanun no. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, yaitu pasal Jarimah Pemerkosaan yang diatur dalam pasal 8 Junto Pasal 52 tentang alat bukti sumpah yang dilakukan korban.
Tidak cukup untuk bisa memberikan hukuman yang berat bagi tersangka dan menyebabkan perempuan sebagai korban tetap mengalami diskriminasi oleh pelaku.
Sehingga Komnas Perempuan meminta untuk UU TPKS bisa diterapkan di Aceh. Mengusut makna “ kekerasan seksual “ pada isi UU TPKS dalam Bab I dan Pasal 1 RUU TPKS ini,
“Setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.”
Dari isi RUU TPKS ini, memuat kata “ secara paksa “ bisa diartikan bahwa jika dengan sukarela atau suka sama suka tidak bisa terjerat oleh undang-undang ini. Yang berarti hubungan seksual di luar pernikahan pun dianggap legal oleh negara, maka tidak bisa dipungkiri jika pergaulan bebas semakin menjamur dikalangan masyarakat. Dengan begitu, apakah tepat aturan RUU TPKS ini dijadikan solusi atas masalah ini ?
Kembali lagi, bahwa akar permasalahan dari kekerasan dan pelecehan seksual tidak terlepas dari kurangnya perhatian negara terhadap rakyatnya. Mahalnya biaya kesehatan, menjadikan masyarakat beralih kepada dukun. Dimana seharusnya dari permasalahan ini menjadi rapor merah bagi pemerintah, untuk lebih memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya.
Islam datang sebagai solusi yang berasal dari Sang Pencipta Allah SWT, yang memahami apa yang dibutuhkan oleh makhluk ciptaan-Nya. Islam datang tidak hanya sebagai agama namun menjadi solusi menyeluruh atas setiap permasalahan. Bagaimana dengan Qanun no. 6 tahun 2014, dimana diterapkannya hukum cambuk bagi pelaku ?
Benar jika hukum cambuk digunakan, namun apakah melihat dari pelaku sudah menikah ( Muhsan ) atau belum menikah ( Ghairu Muhsan ) ?
Tidak, sama halnya bahwa aturan tersebut juga berasal dari manusia dan tidak sesuai dengan aturan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda :
"Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar (hukuman) untuk mereka (pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam." (HR Muslim).
Pemberlakuan hukum sanksi akan bisa terealisasi jika islam diterapkan secara kaffah.
Hukuman yang dilakukan pun harus lah didepan orang orang yang beriman, sebagai bentuk pencegahan ( zawajir ) dan sebagai penebus dosa ( jawabir ). Allah SWT berfirman :
"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman." ( QS. An Nur ayat : 2 )
Terbukti hanya dengan aturan Islam lah yang bisa memberikan solusi secara tuntas dan menyeluruh, dari sanksi yang diberikan hingga pelajaran bagi orang beriman lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.
Wallahua’lam bilshawab..