Mengatasi Krisis Pangan, Tetapi Memperburuk Krisis Iklim ?




*Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)


Di lansir dari Tempo.co, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra mengatakan bahwa proyek 'food estate' bukan merupakan solusi atas krisis pangan, tetapi realitasnya hanya memperburuk krisis iklim. Salah satu yang ia soroti adalah proyek food estate yang digarap oleh Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Proyek pemerintah ini telah mengeksploitasi hutan dan lahan gambut yang sangat luas. 

Apa yang dikatakan oleh Syahrul, sebenarnya adalah bukti kerakusan penguasa sistem kapitalisme.
Penguasa selalu mengatakan bahwa program tersebut sebagai upaya untuk mengatasi krisis pangan dan membentuk ketahanan pangan. Namun pada dasarnya, itu hanyalah topeng untuk menutupi kapitalisasi pertanian. Hal ini tampak jelas melalui konsep pengelolaan melalui investasi atau pun pola kemitraan. Bahkan proyek ini bisa dikatakan semakin mengukuhkan penguasaan lahan oleh korporasi (perusahaan).

Sebab, model pertanian dengan pelibatan korporasi bisa dipastikan akan memberikan izin konsesi untuk pengelolaan lahan. Kerakusan kapitalismelah yang menyebabkan banyak terjadinya alih fungsi lahan. Artinya, alam makin rusak dan emisi karbon pun semakin bertambah.
Parahnya lagi, kapitalisme global menjadikan fakta krisis iklim dan pangan yang begitu genting ini sebagai ladang bisnis.

Hal ini terlihat dari pertemuan CPO 27 di Mesir pada Rabu, 9 November 2022 lalu. Pertemuan tersebut membahas mengenai skema finansial baru, sedikitnya USD 20 miliar sekaligus platform dalam mendukung skema transisi energi global. Dalam implementasinya, skema finansial tersebut dapat dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang dalam mencapai target Net Zero Emission hingga tahun 2050.

Dari skema finansial tersebut tentu bukan masyarakat yang akan menikmati, sekalipun mereka yang jadi korban terdampak langsung efek krisis iklim ini. Yang akan menikmati skema finansial tersebut adalah penguasa yang terlibat dalam carbon trade, karena konsep negara-negara kapitalis tidak ada konsep gratis. Maka penguasa yang telah mendapat skema bantuan tersebut harus membayar hal itu. Yakni, dengan tetap memberi izin bisnis para kapital yang menjadi penyebab deforestasi dan eksploitasi energi fosil semakin kritis.

Maka dari itu, adalah sebuah omong kosong, jika kapitalisme menginginkan dunia zero emission. Yang ada, mereka tetap ingin meraup keuntungan dibalik kerusakan alam akibat ulah mereka, jadi sejatinya kerusakan lahan yang berujung pada krisis iklim akibat emisi karbon yang hal tersebut berefek pada krisis pangan adalah kerusakan teknis akibat penerapan sistem kapitalisme.

Maka solusi fundamentalnya adalah mengganti sistem batil dengan sistem shahih, yaitu sistem Islam. Sistem kepemimpinan Islam yang diwujudkan secara praktis dalam sebuah negara Khilafah. Allah Ta'ala menyediakan bumi dan seisinya ini tentu untuk menunjang kehidupan manusia. 
Allah Swt Berfirman : "Dialah yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu,"(QS. Al Baqarah : 29).
Dan Allah juga memerintahkan manusia agar tidak berbuat kerusakan atasnya. Allah Berfirman : "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik,"(QS. Al-Araf : 56).

Dalil inilah yang menjadi sumber kebijakan seorang Khalifah dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan. Ada beberapa paradigma dan konsep penting yang akan Khilafah terapkan untuk menyelesaikan multi krisis tersebut. Yakni paradigma kepemilikan hutan dan lahan pertanian. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, An Nidzamul Iqtishady fil Islam. Dan Syekh Abdul Qadim Zalum dalam kitabnya, Ajhizah fi Daulah Khilafah menjelaskan terkait tanah memiliki 3 status kepemilikan.

Tanah yang dimiliki oleh individu seperti lahan pertanian. Tanah milik umum yaitu tanah yang didalamnya mengandung harta milik umum. Seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah sangat besar, tanah yang diatasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta, dan lain-lain, serta tanah milik negara, diantaranya tanah yang tidak berpemilik atau tanah mati, tanah yang ditelantarkan, tanah disekitar fasilitas umum, dan lain sebagainya.

Maka pengelolaan tanah dalam Khilafah didasarkan pada status kepemilikan tanah tersebut dan tidak boleh dilanggar. Misalnya, tanah milik umum, seperti hutan dan wilayah tambang, maka hukum pengelolaanya mengikuti hukum kepemilikan umum. Yakni kaum muslimin berserikat atasnya. Pengelolaan harta tersebut diserahkan kepada negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Konsekuensi konsep ini adalah akan menutup konsesi kepada swasta (individu) baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian.

Di samping itu, Khilafah akan memiliki kendali penuh untuk mengatur pemanfaatan hutan. Khilafah akan memerintahkan para pakar melakukan kajian tentang karakteristik, potensi, dan kesesuaian pemanfaatannya. Jika menurut para pakar ada hutan yang memiliki fungsi ekologi dan hidrologi seperti hutan gambut, maka Khilafah akan menjadikan hutan tersebut sebagai kawasan hima. Jika ada juga kawasan hutan yang bisa diambil aspek ekonomisnya seperti untuk lahan pertanian, maka Khilafah akan membuat kebijakan pemanfaatan yang tidak bersifat eksploitatif dan masih dalam batas daya lenting lingkungan.

Kebijakan pemanfaatan energi fosil memang akan menghasilkan emisi karbon, maka Khilafah akan memerintahkan para pakar untuk menghitung carbon stok baik di wilayah blue carbon (laut) maupun green carbon (hutan) yang bisa mengurangi emisi karbon tersebut. Dari kajian inilah Khilafah juga akan membuat peraturan batas jumlah energi fosil yang boleh digunakan. Selain itu, Khilafah juga akan menciptakan pembangunan, industri, dan transportasi ramah lingkungan. Pengelolaan SDA yang juga mengedepankan rehabilitasi lahan. Inilah solusi yang diberikan Khilafah untuk mengelola lingkungan, sehingga emisi karbon tak membawa bencana krisis bagi umat manusia.

Wallahu alam bish sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak