*Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartato memastikan, 70 persen atau sekitar 144 juta orang pekerja berada dalam usia produktif akan sejahtera di masa senjanya pasca purnabakti.
"Bila disiapkan dengan baik, ini (angkatan kerja produktif) jadi potensi besar untuk percepat pembangunan ekonomi. Sehingga angkatan kerja itu bisa sejahtera sebelum tua," kata Airlangga di Senayan JCC, Minggu (30/10).
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022, tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Aturan ini diperlukan guna saling melengkapi kebutuhan industri. Pendidikan dan pelatihan vokasi juga bisa terhubung dengan sistem informasi pasar tenaga kerja," jelas dia.
Regulasi ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal menyediakan lapangan pekerjaan secara mandiri karena terkooptasi oleh kepentingan industri. Hal ini wajar terjadi, sebab sistem kapitalisme menjadikan para pemilik modal (industri) menjadi penguasa sesungguhnya, sementara penguasa hanya dijadikan sebagai corong regulator yang memuluskan kepentingan mereka.
Sehingga pendidikan vokasi dirancang hanya untuk mencetak tenaga kerja teknis atau buruh, bukan tenaga ahli, dan ketika mereka masuk ke dalam kancah bekerja, tentunya standar gaji yang mereka peroleh tidaklah tinggi. Maka teori yang merumuskan jika angkatan produktif siap bekerja, dan mereka bekerja kemudian mendapatkan upah, upah itu bisa mensejahterakan serta menggerakkan roda ekonomi, tidaklah tepat.
Sebab pada kenyataannya, lapangan pekerjaan dalam sistem kapitalisme yang menyediakan adalah industri, dan industri menganggap bahwa upah sebagai variable cost yang paling mudah ditekan. Sekalipun akan ada regulasi terkait kenaikan upah propinsi (UMP) 2023, regulasi ini tidak akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama buruh. Sebab bisa dipastikan para pelaku industri tentu akan lebih memilih UU Ciptaker, daripada regulasi UMP 2023 terbaru nanti.
Padahal pengesahan UU Cipta Kerja, membuat para buruh merasa sangat dirugikan. Karena tidak ada jaminan gaji, jaminan kerja, dan hak-hak buruh lainnya.
Selain itu, pada faktanya kesejahteraan tidak hanya ditentukan dari gaji semata, namun ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan, semisal biaya beban hidup. Dalam sistem kapitalisme layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan menjadi barang komersil yang diperjual-belikan.
Aturan ini sudah pasti akan menjadi beban rakyat. Bagi rakyat ekonomi atas, mungkin tidak akan menjadi masalah, akan tetapi bagi masyarakat ekonomi rendah seperti kaum buruh misalnya, jelas kedua kebutuhan dasar ini tidak sanggup untuk dipenuhi. Pada kenyataanya, beban biaya pendidikan dan kesehatan semakin tinggi, maka harapan sejahtera pun masih menjadi mimpi. Ditambah dengan situasi ekonomi yang berada dalam ancaman resesi, gelombang PHK bisa jadi tidak akan terelakan lagi.
Bahkan data terbaru, perusahaan Philips telah melakukan PHK terhadap 4000 karyawannya. Kondisi demikian tentu akan beresiko terhadap lulusan pendidikan vokasi. Inilah bukti nyata kegagalan sistem kapitalisme ketika diterapkan untuk mengurus manusia. Sangat berbeda dengan sistem Islam, yakni Khilafah. Khilafah telah terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menutup pembajakan pada generasi terdidik untuk kepentingan korporasi. Konsep sistem ekonomi Islam mewajibkan negara untuk memastikan setiap warga negaranya terjamin kebutuhan hidupnya.
Dalam ekonomi Islam, kebutuhan manusia dibagi menjadi dua. Yaitu kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar publik. Jaminan kebutuhan pokok diwujudkan dengan peran negara yang menjadi pengendali terbukanya lapangan pekerjaan. Orientasi terbukanya lapangan pekerjaan dalam Khilafah adalah pemenuhan kemaslahatan umat.
Contohnya, untuk pengelolaan sumber daya alam, Khilafah memerlukan tenaga terdidik untuk mengurus hal tersebut. Tenaga terdidik dan terampil ini akan disiapkan oleh lembaga pendidikan vokasi Khilafah.
Sehingga kurikulum pendidikan vokasi akan disusun untuk membekali lulusannya dengan ilmu-ilmu terapan yang dibutuhkan masyarakat.
Perkembangan teknologi disikapi sebagai sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, bukan sekedar kemajuan yang bernilai materi, apalagi demi kepentingan industri.
Sedangkan dalam permasalahan upah,
Islam juga memiliki cara pandang khusus terkait hal tersebut.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nidhzamul Iqtishadiyyah, menjelaskan antara buruh dan pengusaha terikat aqad ijarah yang saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan dengan jasa yang diberikan pekerja, sementara pekerja diuntungkan dengan upah yang diberikan oleh pengusaha.
Adapun mengenai pemberian upah yaitu harus sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempat bekerja, tidak dikaitkan dengan standar upah minimum masyarakat.
Konsep ini akan menjamin upah para pekerja layak dan ma'ruf untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan.
Dengan demikian, tidak akan terjadi pembajakan potensi generasi terdidik, dan kezaliman bagi para buruh demi kepentingan korporasi.
Generasi terdidik bisa mengerahkan semua potensi mereka, untuk kebaikan Islam dan kaum muslimin, sementara masyarakat bisa mendapatkan kesejahteraan mereka.
Adapun kebutuhan dasar publik yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan menjadi tanggung jawab Khilafah secara mutlak.
Negara yang akan menanggung beban tersebut secara keseluruhan karena kebutuhan itu memerlukan biaya yang cukup besar untuk mengadakanya. Mekanisme seperti ini, akan membuat semua masyarakat baik dari golongan miskin atau pun kaya dapat menikmati fasilitas layanan umum dengan kualitas terbaik bahkan gratis, atau cuma-cuma. Tidak akan ada diskriminasi layanan publik seperti yang kerap terjadi saat ini.
Dengan demikian, masyarakat hanya perlu mengalokasikan gajinya untuk pemenuhan kebutuhan pokok mereka dan keluarganya. Mereka tidak perlu memikirkan biaya untuk menjangkau kebutuhan dasar publiknya. Alhasil, kesejahteraan masyarakat benar-benar nyata terjadi bukan sekedar mimpi.
Sebagai salah satu buktinya, yaitu ketika pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz sama sekali tidak ditemukan satupun warga yang berhak menerima zakat padahal hanya berlangsung 2-3 tahun saja.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
kolom opini