Cuitan Komisaris PT Pelni, Dede Budhyarto, di Twitter pada Minggu (23/10/22) lalu, telah menjadi kontroversi di masyarakat. Jika yang dimaksud kata 'Khilafah' kemudian ia plesetkan menjadi khilafuck, tentu menimbulkan kegaduhan dan diduga kuat merupakan bentuk penistaan ajaran Islam.
"Memilih capres jangan sembrono apalagi memilih capres yang didukung kelompok radikal yang suka mengkafir-kafirkan, pengasong khilafuck anti Pancasila, gerombolan yang melarang pendirian rumah ibadah minoritas," cuit @kangdede78.
Kata 'Fuck' adalah diksi dalam Bahasa Inggris yang berkonotasi negatif. Biasanya digunakan sebagai umpatan atau hinaan terhadap keadaan tertentu. Menyandingkan kata tadi pada 'Khilafah', menjadikannya tampak seperti mengumpat dan menghina ajaran Islam.
MUI, politisi, serta masyarakat umum angkat bicara terkait hal tersebut. Pro dan kontra kembali tak terelakkan. Lagi-lagi kata ini unjuk gigi menunjukkan jati dirinya. Opini Khilafah menguat. Berbagai respon yang muncul di tengah masyarakat, justru membuat golongan yang awam sekalipun akan berusaha mencari tahu kebenarannya.
Khilafah Ajaran Islam
Khilafah adalah ajaran Islam, siapapun tidak boleh membangun narasi menghina atau melecehkannya. Beberapa dalil tentang khilafah adalah,
“Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama; menegakkan rukun-rukun Islam; menegakkan jihad dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti pengaturan tentara serta kewajiban-kewajiban untuk orang yang berperang dan pemberian harta fa’i kepada mereka; menegakkan peradilan dan hudûd; menghilangkan kezaliman; serta melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagai pengganti dari Nabi saw.”
(Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 6/661)
Melalui sumber lain, Imam ’Alauddin al-Kasaniy, menyatakan dalam kitabnya, Badâ`i’ush-Shanâ`i’ fî Tartîbis-Syarâ`i’, juz 14 hal. 406,
“Dan oleh karena mengangkat Imam al A'zham (Khalifah) adalah fardhu, dengan tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ahlul haq (para ulama penegak kebenaran), Maka tidak diperhitungkan lagi adanya yang menyelisihi kewajiban tersebut dari kalangan Qadariyah. Karena adanya Ijma’ Shahabat Ridwanallahu ‘alaihim atas perkara tersebut.
Karena pentingnya kebutuhan akan adanya Khalifah, untuk menerapkan hukum Islam, membebaskan orang yang terzalimi dari orang yang berbuat zalim, memutus perselisihan antar manusia yang merupakan bentuk kerusakan dan yang lainnya yang merupakan kemaslahatan, akan tegak dengan adanya seorang imam (Khalifah)..."
Kitab Badâ`i’ush-Shanâ`i’ fî Tartîbis-Syarâ`i’ itu sendiri merupakan syarah atau penjelasan dari kitab Tuhfatul-Fuqaha` yang merupakan salah satu kitab induk mazhab Hanafi. Hingga kini, kitab , Badâ`i’ush-Shanâ`i’ menjadi pegangan dan rujukan dalam kajian fikih Hanafi maupun kajian fikih lintas mazhab.
Tidak hanya itu, Mona Hassan dalam bukunya yang berjudul Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History, mengisahkan betapa kaum muslim di seluruh penjuru dunia merasa kehilangan dengan runtuhnya khilafah. Termasuk di antaranya kaum muslim di Indonesia.
Beberapa kelompok, gerakan dan ormas bergabung dan mengadakan muktamar. Mereka berusaha menegakkan kembali institusi negara yang satu ini. Bahkan di dalam bukunya, Mona Hasan menuliskan pernyataan pemuda muslim di Indonesia yang berpihak kepada Otoman, “Apa yang sekutu lakukan adalah dalam tindakan melawan khilafah, maka sekutu berurusan dengan muslim di seluruh dunia."
Mona Hasan tidak pro khilafah. Dia juga tidak tergabung dalam ormas yang mengusung ide Khilafah. Meski dalam bukunya ia menuliskan banyak sumber hadits yang menyatakan keberadaan khilafah, namun ia bersikap netral. Bukunya mengupas ekspresi dan respon dunia, terutama kaum muslim, tatkala khilafah runtuh.
Maka jika hari ini ada oknum yang menghina kata khilafah dengan menyandingkannya dengan kata-kata kasar, sungguh ia telah merendahkan agama Allah. Keberadaan khilafah menjadi sesuatu yang penting bagi kaum muslim. Dengannya hukum-hukum Allah dapat ditegakkan.
Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat merusak ketentraman dan kerukunan umat beragama. Tanpa aturan baku yang datangnya dari Sang Pencipta, manusia kerapkali mengumbar kebodohannya dan mengklaimnya sebagai sebuah kebenaran. Oleh sebab itu paham liberalisme tidak layak dijadikan sebagai kepemimpinan berpikir, sebab akan terus menimbulkan friksi di tengah masyarakat.
Karenanya pelaku penistaan seharusnya mendapat sanksi yang berat, agar tidak lagi terjadi penistaan agama di kemudian hari. Sebagaimana Islam pun menegaskan bahwa kafir bagi orang yang menghina agama Allah.
“Sesungguhnya, memperolok-olok agama, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir. Karena olok-olokan itu menunjukkan penghinaan; sementara keimanan dibangun atas pondasi pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan mustahil keduanya bisa berkumpul.”
(Imam Fakhrur Razi, Tafsir Al Kabir).
Wallahu 'alam bish showab
Oleh: Lulu Nugroho (Muslimah Revowriter Cirebon)
Tags
Opini