Oleh : Ummu Aqeela
Seorang anak yang masih berusia 12 tahun melakukan pencabulan sesama jenis atau sodomi terhadap anak berusia 10 tahun dan 12 tahun. Pelaku melakukan aksinya itu lantaran dipengaruhi tayangan video porno.
Kapolrestabes Bandung Kombes Aswin Sipayung mengimbau pada orang tua agar mengawasi anaknya ketika mengakses internet dan media sosial. Dengan begitu, orang tua dapat mengetahui dan mencegah bila anaknya mengakses situs tak yang tak pantas.
"Bagi orang tua yang memiliki anak yang sudah bisa melihat dan mengetahui soal media sosial atau internet agar mendampingi anaknya dan melihat anaknya membuka website apa, membuka situs apa," kata dia di Mapolrestabes Bandung pada Selasa (18/10).
Sementara itu data yang dihimpun sejak bulan Januari 2022, Aswin menyebut sudah ada 11 kasus pencabulan di Kota Bandung yang melibatkan anak-anak. Menurut dia, perkara yang ditangani itu sebagian besarnya telah berproses di pengadilan.
"Jadi menurut data yang kami punya tahun 2022, ada kurang lebih 11 kasus dari mulai Januari sampai dengan perkara yang terakhir ini dan perkaranya sebagian besar sudah proses hukum sampai tingkat pengadilan," ucap dia.
Sebelumnya diberitakan, pelaku melakukan aksi sodomi dengan mengancam korban menggunakan senjata tajam jenis pisau. Adapun aksi sodomi itu sudah dilakukan terhadap korbannya sebanyak tiga kali. Pelaku pun mengaku melakukan aksi pencabulan itu karena dipengaruhi tontonan video porno. Kini, polisi dipastikan sudah memberikan pendampingan psikologis terhadap korban. Sementara, pelaku sudah diamankan di tempat khusus dan proses penanganan terhadap pelaku melibatkan instansi terkait dari unsur pemerintahan.
Akibat perbuatannya, pelaku disangkakan Pasal 82 juncto 76E UU RI Nomor 17 Tahun 2016. Namun begitu, dalam penerapannya, polisi dipastikan bakal berpedoman pada ketentuan UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak. (KumparanNEWS, 18 oktober 2022)
Hal ini menunjukan betapa negeri muslim terbesar di dunia ini sudah darurat moral. Menonton film porno, beradegan intim dengan pacar, semakin menjadi tren di kalangan masyarakat bahkan sudah menyasar ke anak anak usia dini. Ini terjadi seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan derasnya arus globalisasi. Bukan teknologi dan globalisasinya yang salah, tapi ketiadaan filter dan prinsiplah yang membuat moral kian rusak. Dengan mudahnya anak-anak mengakses untujkmenonton tayangan yang merusak moral seperti pornografi, baik sengaja atau tidak, membuat masalah makin komplek dan tidak terbendung.
Dengan banyaknya fakta kasus yang terjadi semua pihak sepakat bahwa persoalannya adalah minimnya pemahaman agama. Yang menjadi pertanyaan mengapa Indonesia yang notabene negara dengan penganut Islam terbesar di dunia justru menjadi ikon kerusakan moral masa kini?
Ini karena agama telah kalah oleh penerapan paham liberal dan sekuler yang membolehkan gaya hidup bebas. Mereka mencukupkan agama sekedar status di KTP. Agama disingkirkan dari lingkup kehidupan. Agama tidak dijadikan pedoman dalam berbuat, hilangnya rasa malu dan rasa bersalah atau berdosa saat melakukan mendekati zina atau saat melakukan zina, karena telah hilangnya agama dalam hati nurani umat. Ditambah lagi dengan keluarga sebagai pilar utama tidak berfungsi maximal seperti seharusnya, namun fenomena ini tidak menjadikan keluarga menjadi kambing hitam satu-satunya atas fakta yang merajalela.
Lalu siapakah yang patut disalahkan? Keluarga sebagai pondasi utama? Atau ada pihak lain yang juga menanggung imbasnya?
Sejatinya ada tiga pilar penting yang harus berfungsi untuk menjaga umat dari kerusakan moral. Dan tiga-tiganyq saling terkait satu sama lain, tidak bisa salah satu hilang atau tidak berfungsi, karena mengakibatkan tatanan bangunan yang tidak sempurna lagi.
Penyebabnya kompleks, saling terkait dalam sebuah sistem. Di dalamnya mencakup faktor keluarga, masyarakat, dan negara.
Keluarga memang memiliki peran penting dalam membentuk moral anak, khususnya orang tua. Namun, nyatanya benteng keluarga dalam sistem kapitalis sekuler saat ini sangat rapuh. Kesulitan ekonomi dan kesibukan orang tua untuk memenuhi kebutuhan membuat rumah kering kasih sayang, sehingga anak-anak di dalamnya mencari perhatian ke luar rumah, di tengah-tengah pergaulan dan lingkungan sekitar juga dunia maya. Dari fungsi mendidik pun telah tergantikan oleh tontonan televisi, media sosial, dan internet.
Tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat saat ini. Mereka cenderung apatis, tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Jangankan memikirkan orang disekitarnya, membenahi kehidupan merekapun masih kesusahan. Maka terlahirnya budaya cuek dengan prinsip individualisme.
Parahnya lagi institusi terbesar yang diharapkan mampu memberi pengayomanpun lemah tak berdaya, negara seakan tidak serius menyikapi persoalan amoral generasi bangsa. Alih-alih memperkuat dasar pendidikan dengan nilai-nilai agama yang benar justru pemerintah mengadopsi program deradikalisasi dan moderasi beragama untuk pelajar. Harusnya di tangan penguasa juga mempunyai wewenang untuk memblokade masuknya konten-konten atau tontonan yang mengandung pornoaksi dan atau pornografi yang jelas merusak pemikiran dan moral anak bangsa.
Negara adalah benteng sesungguhnya. Namun, dalam sistem liberalisme, fungsi negara sebagai pelindung hampir tidak ada. Dengan jargon kebebasan, negara tidak bisa mengekang rakyatnya, sehingga seks bebas, pergaulan bebas, pornoaksi dan pornografi menyebar begitu luas di tengah masyarakat. Atas nama hak asasi manusia, negara juga tidak bisa memberi hukuman tegas kepada para pelaku kejahatan. Maka, tidak mengherankan jika kasus amoral masih terjadi dan terus terulang.
Sejatinya ancaman krisis moral generasi muda hanya bisa diatasi dengan perubahan sistemis. Meninggalkan sistem yang rusak dan kembali pada sistem yang benar. Jika penerapan sistem liberalisme sekuler saat ini terbukti hanya melahirkan maraknya tindakan amoral pada generasi muda, maka sudah selayaknya sistem ini di buang jauh-jauh. Tatanan semua aspek kehidupan harus dikembalikan pada syariat. Hanya dalam sistem Islam, negara menaungi dan menjaga generasi muda sesuai fitrah.
Islam memiliki sejumlah aturan yang komprehensif. Pemahaman yang menyeluruh terhadap hukum-hukum Islam mampu menjadi benteng setiap individu dari kemaksiatan. Negara dalam sistem Islam menerapkan kurikulum pendidikan berdasarkan akidah Islam, sehingga melahirkan individu yang bertakwa. Dari aspek sosial, negara juga mengatur sistem pergaulan dan interaksi antara perempuan dan laki-laki sesuai ketentuan syariat.
Serangkaian aturan dalam sistem Islam merupakan bentuk penjagaan terhadap generasi penerus yang sudah terbukti selama ribuan tahun dengan sepenuh hati. Kegemilangan sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyah memang tidak diragukan lagi. Namun, sejak sistem khilafah telah tiada, penjagaan itu lambat laun menghilang. Alhasil, setiap individu, keluarga, dan masyarakat berjuang sendiri melawan arus zaman yang terus menggerus nilai-nilai Islam. Jadi bisa disimpulkan bahwa keluarga bukanlah satu-satunya tersangka utama, karena ada masyarakat dan negara yang mempunyai tanggung jawab yang sama. Semoga tiga pilar yang diharapkan, mampu berfungsi seperti seharusnya.
Wallahu’alam bishowab