Oleh : Khadija Fatimatumaryam
Stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) milik Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik atau Perum Bulog diproyeksikan hanya tersedia sekitar 399.550 ton hingga akhir 2022 jika tidak dilakukan penyerapan atau importasi.
Sebelumnya, Perum Bulog menyampaikan stok beras saat ini hanya tersedia di level 594.856 ton, kurang setengahnya dari target, yakni minimal 1,2 juta ton.
Apabila, penyaluran operasi pasar atau program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) terus dilakukan untuk menekan inflasi dan bantuan seperti bencana alam, diproyeksikan CBP hanya tersisa di kisaran 399.550 ton pada akhir tahun.
Sementara itu, berdasarkan data penyaluran KPSH Perum Bulog hingga Oktober 2022, realisasi penyaluran telah mencapai sekitar 821.000 ton. Per September 2022, penyaluran KPSH terbanyak berada di provinsi Sulawesi Selatan (104.891 ton) dan terendah di Bengkulu (2.136 ton).
Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso atau disapa Buwas mengungkapkan meski impor beras menjadi pilihan paling akhir, pihaknya tetap memprioritaskan penyerapan gabah dari dari petani, sekalipun dengan harga yang mahal.
“Jadi, seandainya kita harus impor, tapi kita juga memperhitungkan, bukan semau maunya ingin dapat jatah impor 500.000 ton, kita datangkan 500.000 ton. Kita melihat nanti produksi dari dalam negeri. Tetap kita memprioritaskan produksi dalam negeri walaupun harganya mahal,” ujar Buwas dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI, Rabu (24/11/2022) Bisnis.com, JAKARTA.
Bulog kekurangan Stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sehingga mengusulkan untuk impor. Impor ‘perlu’ dilakukan karena penyerapan beras oleh Bulog rendah. Sementara Kementan gagal menyediakan beras yang dijanjikan. Di sisi lain petani enggan menjual beras ke bulog karena harga beras sedang tinggi, sementara Bulog membeli dnegan harga yang lebih rendah.
Permasalahan yang terjadi di sektor pertanian, baik tentang rendahnya serapan beras oleh Bulog, anjloknya harga gabah, mahalnya pupuk, “tradisi” impor, dan sebagainya, sejatinya hanyalah masalah cabang. Problem utama dari ruwetnya masalah pertanian terletak pada buruknya tata kelola ala kapitalis liberal. Tata kelola tersebut mengakibatkan minimnya kepemilikan lahan, lemahnya pengawasan teknologi, keterbatasan modal, hingga lemahnya posisi tawar dalam penjualan hasil panen para petani.
Selain itu, sistem kapitalisme telah nyata meminggirkan peran negara sebagai pengurus rakyat. Negara hanya diposisikan sebagai regulator, sementara operatornya diserahkan kepada korporasi. Salah satu kebobrokan sistem ekonomi kapitalisme adalah mengizinkan kebebasan pemilikan secara mutlak. Kebebasan ini akhirnya menciptakan kapitalisasi korporasi pangan yang terus menyebar di setiap sudut negeri ini. Tata kelola ala kapitalis inilah yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan kepemilikan aset, pengawasan rantai produksi, distribusi pangan, hingga kendali harga pangan oleh para korporasi.
Sementara pemerintah yang seharusnya berperan sebagai pengendali, justru ibarat wasit yang tetap condong pada korporasi. Contohnya, saat ini petani masih sebatas berangan-angan untuk memperoleh akses terhadap sarana produksi pertanian (saprotan) yang murah dan berkualitas. Sementara terkait pengadaan benih, pupuk, pestisida, serta lainnya masih dalam dominasi korporasi. Paradigma dan konsep batil kapitalisme harusnya dicampakkan jika ingin menyelesaikan sengkarut pertanian. Kemudian menggantinya dengan paradigma Islam.
Islam datang menjadi solusi atas setiap permasalahan yang menimpa manusia, termasuk dalam sektor pertanian. Sistem sahih ini memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme. Dalam prinsip ekonomi Islam, produktivitas seluruh kegiatan pertanian yang legal atau sesuai syariat telah diakui oleh Islam, baik produk barang maupun jasa.
Dalam Islam, kebijakan apa pun yang terkait dengan sektor pertanian wajib berada dalam tanggung jawab negara, mulai dari hulu hingga hilir. Sebab, negara adalah penanggung jawab dan pelindung seluruh rakyat. Sebagaimana termuat dalam hadis riwayat Ahmad dan Bukhari, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”
Makna hadis tersebut menunjukkan bahwa negara adalah pihak yang harus bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyat. Karenanya beban tersebut tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, apalagi korporasi. Di sisi lain, prinsip pengurusan rakyat dalam Islam adalah terwujudnya kemaslahatan. Karenanya, negara tidak boleh membisniskan semua layanan yang diberikan kepada rakyat.
Dengan pengaturan berdasarkan syariat Islam, produk pertanian dalam negeri akan mencukupi kebutuhan seluruh rakyat. Para petani pun tidak perlu khawatir akan anjloknya hasil pertanian karena negara bertanggung jawab penuh terhadap nasib mereka. Lebih dari itu, pengaturan pertanian berdasarkan syariat Islam di bawah sistem politik Khilafah, akan mewujudkan ketahanan pangan sekaligus kesejahteraan rakyat.
Wallahu a’lam
Tags
Opini