Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Tahun ini Hari Pahlawan mengangkat tema "Pahlawanku Teladanku". Tema ini dipilih karena perjuangan dan pengorbanan para pahlawan diharapkan bisa menginspirasi dan memotivasi kita semua untuk meneruskan pembangunan dan mengisi kemerdekaan.
Dikutip dari kemensos.go.id, bahwa pada masa lalu masyarakat Indonesia berjuang dengan mengangkat senjata, maka sekarang masyarakat berjuang melawan berbagai permasalahan bangsa.
Harapannya masyarakat Indonesia dapat melawan berbagai masalah bangsa seperti, kemiskinan, bencana alam, narkoba, paham - paham radikal serta berjuang melawan dampak dari pandemi covid 19 yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun ini.
Setiap individu dapat berperan untuk kemajuan bangsa Indonesia sesuai kemampuan, keahlian, dan keterampilan masing-masing untuk memberikan kontribusi bagi bangsa sebagai wujud pahlawan masa kini.
Hanya saja, ada hal yang belum diungkap kepada generasi saat ini bahwa pada peristiwa tersebut kental dengan nuansa Islam, bahkan terjadi benturan antara ideologi kapitalisme dan Islam. Hal ini dikarenakan peristiwa 10 November sebenarnya diawali dengan tercetusnya Resolusi Jihad yang dikawal para ulama.
Pertempuran 10 November dianggap beberapa ahli sejarah di dunia setara dengan tiga pertempuran besar dunia di tengah Perang Dunia II. “Pertama Pertempuran Stalingard, Kedua, Pertempuan Dien Bien Pu, dan ketiga Pertempuran 10 November. Namun sayangnya saat ini, narasi di seputar Pertempuran Surabaya tidak banyak dibahas, terutama di buku sejarah.
Dalam tulisan salah satu wartawan Republika diulas mengapa pertempuran Surabaya menjadi salah satu pertempuran dahsyat di dunia, Karena di situ juga ada benturan ideologi. Di Stalingard dan Dien Bien Pu, sosialisme melawan kapitalisme. Sedangkan di Surabaya, yang pengaruhnya paling besar adalah Resolusi Jihad, di sinilah kapitalisme melawan Islam.
Kuatnya nuansa Islam ini tampak dengan ada narasi takbir. Bahkan, dikisahkan, laskar Hizbullah saat itu berangkat dengan membawa bendera jihad berwarna hitam bertuliskan kalimat La ilaha illallah, yaitu ar-Rayah. Termasuk para santri yang datang bukan hanya dari Jawa Timur. Ada markas Hizbullah dari Garut, Jawa Barat yang diceritakan berada di masjid wilayah Gedangan, Jawa Timur. Mereka dalam keadaan terjepit dan dibunuh oleh tentara Inggris. Pimpinannya, seorang kyai muda, dieksekusi di pelataran masjid. Ini menunjukkan seluruh santri di daerah Jawa ikut bergabung.
Sehingga peristiwa 10 November sebenarnya berdimensi agama, terlebih dengan adanya Resolusi Jihad oleh K.H. Hasyim Ashari. Meskipun ada tidaknya faktor agama dalam arti sempit, dalam pandangan Islam, pasti berdimensi agama. Ini karena dalam Islam ada ajaran untuk melawan orang yang menyerang. Ini yang disebut jihad difa’i atau jihad defensive, sebagaimana yang tertuang dalam ayat 190 QS Al-Baqarah,
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Dalam Islam, jihad difa’i bersifat fardu ain di wilayah yang didatangi penyerbu, yang akan melebar kepada penduduk yang lebih luas jika kewajiban mengusir para penyerang itu belum bisa ditunaikan. Melebar terus sampai kewajiban itu bisa ditunaikan. Inilah respons umat Islam terhadap penyerang dan mendasari Fatwa Jihad pada 22 Oktober.
Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hari pahlawan dan islam, ibarat dua mata uang yang tak terpisahkan. Wallahu a’lam bi ash showab.