Oleh Ummu Syifa
Radikalisme, deradikalisasi, terorisme, moderasi dan istilah-istilah lainnya yang setara dan ingin menyudutkan islam sejatinya bukanlah hal yang baru. Istilah-istilah tersebut bisa diibaratkan sebagai barang dagangan yang apabila tidak laku maka akan dimodif ulang bahkan dicari nama lainnya yang tujuannya juga sama yaitu mengkriminalisasi islam sebagai sebuah agama dan ideologi.
Pada abad ke-20, Eropa seringkali mengaitkan radikalisme dengan kelompok kiri. Mereka yang ada di barisan radikal adalah mereka yang menentang kapitalisme. Dan ini terus berlanjut, di saat Kapitalisme menghegomoni dunia dengan dimotori oleh Amerika Serikat (AS), radikalisme merujuk pada orang-orang yang ‘berjihad’ atas nama agama. Agama apa yang dimaksud, tak lain adalah Islam.
Kebencian Barat terhadap islam tak lepas dari sejarah panjang kegagalan Barat menghadapi kekuasaan islam di masa lalu. Kebencian itu tak bisa mereka sembunyikan, hingga mulut mereka pun tak kuasa menahannya.
Oleh karenanya berbagai upaya mereka kerahkan untuk menunda munculnya kekuatan islam ini. Mulai seruan ‘Global War on Terorism’ yang didengungkan oleh Bush.
Namun seruan ini dirasa kurang efektif karena hanya menyasar pelaku teror yang melakukan tindak kekerasan saja. Lebih dari itu, terminologi “terorisme” yang didagangkan Barat di Dunia Islam, termasuk strategi dan pendekatan “hard power” yang selama ini mereka kedepankan, justru memunculkan kemarahan dan perlawanan masyarakat.
Di masa Trumph, seruan pun berubah menjadi ‘Global War on Racalism”. Dengan seruan ini, Barat lebih leluasa menyasar kekuatan islam. Menggunakan isu radikalisme, selanjutnya mereka memainkan proyek deradikalisasi. Ini adalah upaya untuk mengubah cara pandang dan sikap orang atau kelompok yang memiliki ciri radikal sebagaimana yang mereka definisikan sendiri, menjadi orang atau kelompok yang lunak, toleran, pluralis, moderat dan liberal.
Moderasi beragama yang hari ini tengah diaruskan oleh pemerintah di berbagai lini, tak bisa dilepaskan dari upaya deradikalisasi, yang merupakan agenda Barat. Ini dapat dipahami, salah satunya dari sebuah buku yang dikeluarkan Rand Corporation, berjudul Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim. Namun demikian, apa yang tertuang dalam buku tersebut tak dibawa begitu saja ke tengah kaum muslimin di Indonesia.
Tentunya dikemas dengan apik agar tak nampak maksud buruknya. Jika disampaikan apa adanya, tentulah akan mendapat penolakan keras dari kaum muslimin. Maka tak heran jika hari ini bertebaran istilah baru di tengah umat, Islam Wasatiyah, Islam Nusantara, Islam Inklusif, Islam yang tak mematikan kearifan lokal. Semua istilah tersebut tak dikenal dalam islam, namun Barat telah membeli para penguasa di negeri muslim dan para ulama salatin untuk merekayasa agar seolah-olah istilah tersebut dari islam. Dicarilah dalil-dalil dalam Al Qur’an sebagai pembenar. Bahkan sebagai bentuk keseriusan sebagai negara pembebek Barat, proyek moderasi masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.
Barat sangat memahami bahwa kekuatan sebuah peradaban bertumpu pada kaum mudanya. Merekalah yang kelak akan melanjutkan estafet kepemimpin. Oleh karenanya, banyak program moderasi beragama sebagai upaya deradikalisasi di kalangan kaum muda diaruskan melalui dunia pendidikan. Program MBKM yang diusung Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim sebagai buktinya. Menurut Nadiem, moderasi beragama sangat penting diajarkan karena salah satu dari tiga “dosa besar pendidikan” di Tanah Air adalah intoleransi beragama.
Nadiem pun membuat kurikulum moderasi beragama untuk disisipkan dalam Kurikulum Program Sekolah Penggerak yang disusun bersama Kementerian Agama (Kemenag).
Begitu pula di tingkat perguruan tinggi dibuatlah kurikulum kampus merdeka, yang menuntut 20 SKS membebaskan mahasiswa mengisi kegiatan di luar kampus. Dimana salah satu bentuk kegiatan di luar kampus adalah pertukaran mahasiswa dalam rangka saling mengenal ajaran agama sehingga tidak menganggap agamanya paling benar.
Sungguh miris membayangkan para pemuda, generasi calon pemimpin umat ini jauh dari nilai-nilai Islam dan tak mengenal ajaran islam. Mereka akan menjadi generasi berkarakter moderat, yaitu inklusif, toleran dan sekular.
Generasi inklusif, generasi yang tak mau atau enggan menampakkan keislamannya karena tak ingin dianggap beda dengan lingkungan sekitarnya. Generasi moderat akan sangat toleran terhadap kemaksiatan. Bersikap tak peduli dengan kerusakaan dan kemaksiatan di sekitarnya. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang individualis dan minimalis. Padahal karakter seorang muslim yang dituntut islam adalah peka ketika melihat kemaksiatan.
Sebagaimana yang tertuang dalam HR. Muslim. "Jika di antara kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu, dan jika kamu tidak cukup kuat untuk melakukannya, maka gunakanlah lisan, namun jika kamu masih tidak cukup kuat, maka ingkarilah dengan hatimu karena itu adalah selemah-lemahnya iman."
Umat islam adalah umat pilihan. Allah sendiri yang berikan predikat mulia tersebut atas mereka. Sebagaiman tersurat dalam QS. Ali Imran : 110 “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik” Kunci untuk menjadi umat mulia adalah berpegang pada Islam.
Sebaliknya meninggalkan islam mengantarkan pada kehinaan. Demikian yang disampaikan Umar bin Khaththab,“Kita adalah umat yang pernah hina dan lemah, lalu Allah menguatkan dan memuliakan kita dengan Islam. Kalau kita mencari kemuliaan selain dengan agama ini Allah akan menghinakan kita.
Pada dasarnya aqidah islam bukan hanya aqidah ruhiyah, yang membahas tentang urusan-urusan keakheratan. Namun akidah islam juga merupakan akidah siyasiyah, yang menjadi dasar pembahasan tentang pemeliharaan urusan-urusan kedu¬niaan. Maka hukum-hukum yang berkaitan dengan pembebanan hukum, kebaikan, keburukan, perdagangan, sewa-menyewa, perkawinan, corporation (syirkah), warisan, terkait dengan akidah siyasiyah. Begitupula hal-hal yang masih berkaitan dengan pemeliharaan persoalan tersebut, seperti mengangkat pemimpin jama’ah, ketaatan kepada pemimpin serta mengoreksi¬nya, seperti juga sanksi-sanksi hukum dan jihad, juga merupakan bagian aqidah siyasiyah.
Sehingga tak dikenal dalam islam, istilah ‘politik itu kotor’. Justru politik adalah bagian dari islam. Akidahnya saja sudah disebut sebagai akidah siyasiyah (akidah politik), bagiman mungkin politik dipinggirkan. ‘Politik itu kotor’ hanyalah narasi yang dibuat Barat agar kaum muslimin menjauhi politik, sehingga mereka leluasa bermain di dalamnya. Urusan kehidupan dunia kaum muslimin dalam genggaman mereka.
Sudah berabad lamanya umat ini mengalami kehinaan. Saatnya mengembalikan mereka menuju kemuliaannya. Memang bukanlah pekerjaan mudah. Betapa tidak, posisi umat hari ini ibarat sudah jatuh di lumpur, ditimbuni pula oleh sampah berupa nilai-nilai dan paham kapitalisme yang rusak. Walhasil dakwah di tengah umat menuntut menjadikan islam sebagai naar dan nuur. Naar (api) yang membakar pemikiran-pemikiran kapitalisme yang rusak dan nuur (cahaya) yang menjadikan islam sebagai solusi, penerang jawaban atas persoalan yang menghimpit umat. Wallahu’alam
Tags
Opini