Oleh: Yaurinda
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meresmikan peluncuran pandemic fund atau dana pandemi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali (13/11/2022). Presiden berharap pandemic fund akan menjadi instrumen penting dalam mengatasi pandemi di masa mendatang.
Menurut presiden Jokowi, tiga tahun terakhir menghadapi disrupsi terberat yaitu pandemi covid-19 telah membuktikan bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi, dunia tidak mempunyai arsitektur kesehatan yang ada untuk mengelola pandemi sebab itu acara G20 perlu dilaksanakan (Kompas.com, 12/11/2022).
Pandemic fund sudah berjalan sejak 8 September 2022 dan telah terkumpul dana 1,5 miliar dolar AS atau setara Rp 23,4 triliun. Sementara kebutuhan dana pertahun diperkirakan WHO sebesar 31, 1 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 481 triliun (CNN Indonesia, 16/11/2022).
Namun ternyata penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tingggi KTT G20 Bali, memakan biaya tidak sedikit. Dana yang telah dihabiskan mencapai Rp529,54 miliar. Pemanfaatan anggaran KTT G20 digunakan untuk memperbaiki dan mempercantik kawasan Nusa Dua sebagai lokasi utama event serta perbaikan jalan yang dilalui kepala negara anggota G20 serta delegasinya (Pikiran rakyat, 14/11/2022).
Dari sini kita bisa melihat pendanaan dan hasilnya saja sudah tidak seimbang, lantas akankah hal ini mampu untuk atasi pandemi?. Sungguh, munculnya Pandemi tahun 2020 merupakan pukulan telak bagi sistem kapitalisme liberal yang diterapkan oleh hampir seluruh negara di dunia saat ini. Pasalnya bukan hanya negara miskin yang kalang kabut menghadapinya namun juga negara maju.
Kapitalisme yang hanya mengutamakan materi tak berdaya menghadapi pandemi, korban jiwa berjatuhan. Akhirnya kebijakan "lockdown' total diambil untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi. Namun dampaknya sektor ekonomi terpukul hingga terjadi resesi yang hebat. Kebijakan fiskal maupun moneter tidak memberikan pengaruh berarti.
Resesi global yang terus terjadi membuat kebijakan baru harus segera diambil yaitu 'new normal'. Tujuannya adalah agar ekonomi kembali bangkit, faktor kesehatan menjadi nomor dua. Akibatnya korban kembali berjatuhan dan sengaja dibiarkan, hingga mencapai 'herd imunity' atau muncul kekebalan tubuh alami setelah berperang dengan wabah. Berapapun jumlah korban atas penerapan kebijakan ini tidak diambil pusing oleh penguasa. Semua demi meningkatkan ekonomi.
Seiring dengan itu perjanjian GATS oleh WTO telah ditetapkan, dimana menjadikan 12 sektor jasa salah satunya jasa kesehatan termasuk jalan dibukanya kran investasi dan liberalisasi pada tahun 1995. Akibatnya ditengah kesulitan rakyat mendapatkan layanan kesehatan dan butuh obat, penguasa dan pengusaha memanfaatkan kesempatan ini untuk kapitalisasi vaksin. Sebagaimana untung beliung yang diperoleh produsen vaksin Astra Zaneca. Keuntungan mereka sebesar 37, 4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 536 triliun.
Juga ketetapan PCR yang diputuskan oleh penguasa yang ternyata juga pengusaha telah memanfaatkan peluang yang ada untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Ini jelas-jelas kebatilan dan kedzaliman secara nyata.
Begitulah watak asli sistem kapitalisme, yang tidak manusiawi. Keuntungan materi menjadi pijakan dalam mengurus rakyat. Maka wajar jika ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang lebar. Hingga sebabkan kemiskinan yang tersistem tak terelakkan.
Sungguh kapitalisasi kesehatan seperti yang terjadi saat ini telah di haramkan oleh Allah Subhanahu wata'ala, Sang Pencipta alam semesta. Syariat Islam telah Allah turunkan untuk mencabut penderitaan akibat kerakusan segelintir umat manusia. Nabi Muhammad saw telah memberikan teladan bagaimana negara dalam Islam. Negara wajib menanggung pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan atas seluruh warga negara.
Tatkala Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjadi Kepala Negara Islam di Madinah Al Munawwarah beliau melihat ada salah satu sahabat yang menderita sakit yaitu Ubay. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memerintahkan seorang tabib atau dokter yang merupakan hadiah dari Raja Muqauqis untuk mengobati sahabat tersebut hingga sembuh. Tabib ini kemudian dipakai jasanya untuk mengobati seluruh warga yang menderita penyakit. Rakyat tidak harus membayar sang tabib, gajinya diambil dari uang kas negara atau dikenal dengan nama baitul mal.
Adapun sumber pemasukan negara yang bisa dialokasikan untuk kesehatan adalah dari harta yang diperoleh dari pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang berbagai macam SDA yang jumlahnya melimpah. Adapun untuk gaji para nakes bisa diambil dari pos harta negara yang berasal dari ghanimah, kharaj, jiziyah, usyr, harta ghulul dan lain sebagainya. Besarnya harta di Baitul mal inilah yang menopang pembiayaan kebutuhan fasilitas kesehatan bagi rakyat. Sehingga rakyat bisa merasakan baiknya pelayanan, cepat dan gratis.
Dengan demikian negara tidak perlu patungan sebagaimana 'pandemic fund' meminta sumbangan kepada masyarakat atau negara lain untuk memenuhi seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan bagi warganya. Hal ini hanya akan menjadi mimpi jika Islam tidak diterapkan karena hanya Islam yang menganggap rakyat harus dilayani sepenuh hati.