Penulis: Nuraisah Hasibuan S.S.
Sudah dua pekan setelah ASO (Analog Switch Off), masih ada sesal dan kritik dari masyarakat tentang migrasi siaran analog ke digital. Per tanggal 2 Nopember 2022, akhirnya ASO dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Rencana migrasi TV analog ke digital memang sudah lama dinanti-nanti pemerintah dan pelaku usaha digital. Migrasi ini tak bisa ditolak dan diundur lagi karena merupakan arahan dari The International Telecomunication Union (ITU) sebagai badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bidang teknologi informasi dan komunikasi.
Di Asean sendiri, tinggal Indonesia dan Timor Leste yang masih menggunakan TV analog. Oleh karena itu, upaya migrasi TV analog ke digital ini benar-benar diprogram dengan matang oleh pemerintah.
Melalui wakil ketua DPR, Aziz Syam, pada rapat paripurna 5 Oktober 2020, disahkan UU Ciptaker yakni UU sapu jagat yang mencakup banyak hal termasuk kebijakan penyiaran. Disebutkan bahwa peralihan TV analog ke digital paling lama dalam dua tahun sejak ketuk palu.
Pengalihan ini juga dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan penyiaran. Pada pasal 97 ayat (1)b disebutkan bahwa penghentian televisi analog paling lambat 2 Nopember 2022 pukul 24.00 WIB. Dan juga Peraturan Menkominfo No. 11 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran, yakni kewajiban semua lembaga penyiaran menyetop siaran analog pada 2 Nopember 2022.
Dalam sosialisasi migrasi TV analog ke digital ini, pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan maksud dari peralihan ini tidak lain agar publik mendapatkan penyiaran yang berkwalitas, gambar dengan resolusi tinggi dan juga suara yang jernih tanpa dipengaruhi jarak antara menara pemancar dan perangkat TV.
Namun terlepas dari manfaat yang akan didapatkan masyarakat dari penggunaan siaran digital ini, muncul kontroversi. Sebab untuk beralih ke siaran digital tidaklah gratis. TV wajib dipasangi Set Top Box (STB). Artinya, program Analog Switch Off (ASO) secara tidak langsung memaksa warga untuk membeli STB.
Harga STB di pasaran dibanderol sekitar 250 ribu rupiah. Dan harga ini semakin meningkat pasca ASO. Bagi masyarakat menengah ke atas, harga ini mungkin tak masalah. Namun bagi kebanyakan masyarakat yang kondisi ekonominya masih tertatih-tatih pascapandemi Covid-19, pastinya lebih memprioritaskan membeli kebutuhan pokok daripada membeli STB. Banyak warga yang mengeluh terpaksa membeli STB meskipun mahal karena televisi adalah satu-satunya hiburan keluarga. Namun banyak yang bertahan tanpa menonton televisi karena belum membeli STB.
Meski pemerintah mengadakan program STB gratis, tapi jumlah STB yang dibagikan hanya sekitar 6 juta unit. Sangat jauh dari harapan, sebab pengguna TV analog di Indonesia ada ratusan juta. Sehingga muncul kecurigaan bahwa program ini lebih banyak menyusahkan rakyat dan sebaliknya justru menguntungkan pengusaha STB.
Namun pastinya yang paling diuntungkan adalah pemerintah sendiri karena berpotensi mendapatkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp.443 triliun. Sebelumnya pendapatan dari TV analog hanya sekitar Rp.100 miliar. Pendapatan ini berasal dari biaya penggunaan frekwensi atau sering dikenal dengan digital divident yang disetorkan pelaku usaha digital yang memakainya.
Sehingga memang keputusan pengalihan dari TV analog ke digital ini sangat bisa dimaklumi mengingat negara yang saat ini membutuhkan dana besar baik untuk membayar hutang, menyelesaikan proyek IKN dan juga pembangunan berbagai infrastruktur.
Namun tetap disayangkan karena negara seolah tidak menyiapkan peralihan ini secara matang. Terkesan terlalu terburu-buru dan efeknya merugikan banyak rakyat. Kalaulah rencana migrasi TV analog ke digital ini sudah dirancang sejak dua tahun lalu, semestinya semenjak itu pula sudah disiapkan STB gratis atau STB murah bagi rakyat.
Pun peralihan dari analog ke digital ini seharusnya dibiarkan terjadi secara natural saja tanpa program ASO (Analog Switch Off). Program ini banyak membuat rakyat kecewa karena di rumah tiba-tiba siaran hilang.
Akan lebih bijaksana jika rakyat dibiarkan memilih apakah tetap memakai TV analog atau pindah ke digital. Karena kondisi keuangan rakyat tidak semua mampu. Bahkan lebih banyak yang tidak mampu. Toh jika rakyat melihat keunggulan TV digital, mereka akan berpindah dengan sendirinya tanpa dipaksa.
Semoga ke depannya pemerintah bisa lebih berpikir menyeluruh dan jauh ke depan sebelum mengambil setiap keputusan demi kemaslahatan rakyat.
Tags
Opini