Sistem Peradilan Ala Demokrasi, Mustahil Mampu Berantas Korupsi




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)


Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintah akan membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia.
Hal tersebut dilakukan untuk melakukan reformasi hukum peradilan pasca insiden kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati.

Mahfud menjelaskan, konsep besar sistem lembaga peradilan ini akan disusun setelah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan akhir tahun 2022.
"Setelah itu KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)," kata Mahfud dalam konferensi pers di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2022).
"Sesudah itu nanti akan diusahakan membuat rumah besar. Konsep besar yang sistematis tentang lembaga peradilan yang tersistem," kata Mahfud.

Tidak bisa dipungkiri, untuk memberantas tindakan korupsi di negeri ini memerlukan langkah baru dan jitu, apalagi perilaku korupsi ini juga sudah merambah di lembaga peradilan dan penegak hukum. Namun pembentukan kerangka baru lembaga peradilan tak akan mampu memberantas korupsi selama masih menggunakan sistem demokrasi. Apalagi adanya politik transaksional membuat reformasi hukum terasa mandul dan rasa keadilan semakin mahal.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional mengenai persepsi publik atas pengelolaan dan potensi koruptor sektor sumber daya alam. Hasilnya, 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir (detiknews, 8/8/2021). Data tersebut menunjukkan kasus korupsi menjadi masalah yang besar dan sangat memprihatinkan. 

Lebih mencengangkan lagi baru-baru ini Emir Moeis mantan anggota DPR RI dari fraksi PDI-P sekaligus mantan terpidana kasus korupsi telah ditunjuk sebagai salah satu komisaris BUMN di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) sejak 18 Februari 2021 lalu.
Sontak berita ini membuat publik terheran. Mengapa eks koruptor dipilih menjadi komisaris, tidak adakah anak negeri yang lebih layak dan lebih baik? 

Negara dengan sistem politik demokrasi menjadi lahan gembur tumbuhnya berbagai kasus korupsi yang semakin subur. Sebab, peraturan hukumnya berpeluang memiliki kecenderungan akan kepentingan individu dan kelompok tertentu. Sehingga, kebijakan dan peraturan perundang-undangan senantiasa berubah mengikuti periode kepemimpinan.
Selama ini bisa disaksikan, tidak ada hukuman jera bagi para koruptor. Justru fakta menunjukkan kasus korupsi di Indonesia semakin meningkat dua tahun terakhir. Hal ini berarti praktik korupsi semakin meluas dan masif karena lemahnya penindakan dan hukum yang diberikan tidak membuat jera para pelaku.

Beberapa penyebab yang menyuburkan praktik korupsi di Indonesia antara lain karena lemahnya penegak hukum, keserakahan para penguasa, dan mahalnya ongkos politik demokrasi. Selain itu, pemilihan penguasa melalui pemilu dengan praktik jual beli suara hingga sokongan dari para cukong berupa gelontoran dana. 
Jual beli suara tidak akan melahirkan pemimpin yang amanah apalagi takwa. Sebab, dari awal ia telah berbuat curang dengan segala cara. Anehnya rakyat tetap percaya dengan janji manis yang diberikan dan mau mempertaruhkan nasibnya dengan uang yang tak seberapa.

Korupsi adalah cara cepat dan mudah untuk mengembalikan modal nyaleg yang tak sebanding dengan gaji yang diterima.
Ibarat kata, tidak ada makan siang yang gratis. Tentu saja para cukong menginginkan kompensasi maksimal atas dukungan yang diberikan. Maka, lahirlah pemerintahan yang disetir korporasi yang menginginkan kemenangan tender berbagai proyek dan perubahan regulasi sesuka hati. Inilah buntut persoalan yang terus terjadi sehingga, upaya mempertahankan demokrasi sama halnya mempertahankan ketidakadilan di negeri ini, walaupun lembaga peradilan kerap diperbaharui.

Hanya sistem Islam yang mampu menutup rapat seluruh celah korupsi dengan cara menerapkan aturan yang didukung tegaknya tiga pilar yang saling menguatkan.
Pertama, mengharamkan segala bentuk suap (risywah) untuk tujuan apa pun. Risywah yaitu memberikan harta kepada seorang pejabat, untuk menguasai hak dengan cara yang batil, membatalkan hak orang lain, atau agar didahulukan haknya atas orang lain.

Dalam Islam, pelaku praktik suap menyuap akan dilaknat karena harta tersebut diperoleh dari pengkhianatan terhadap rakyat. Hartanya haram dan tidak berkah. Maka, para pejabat atau penguasa tidak boleh menerima ghulul yaitu harta yang diperoleh dari luar gaji. Rasulullah saw. bersabda:
“Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan penerima suap.” ( HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Kedua, pejabat dilarang menerima hadiah atau gratifikasi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan.”(HR. Abu Dawud).

Ketiga, pejabat dilarang mendapatkan komisi atau makelar dengan memanfaatkan jabatannya untuk memuluskan berjalannya suatu proyek. Meskipun hukum komisi sesungguhnya adalah mubah, namun ketika memanfaatkan jabatan untuk memuluskan berjalannya suatu proyek dan ia memperoleh keuntungan darinya, maka komisi tersebut haram.

Keempat, Islam menetapkan korupsi adalah cara memperoleh harta secara haram dan merupakan suatu bentuk pengkhianatan. Maka, pelakunya harus dihukum secara tegas. Hukuman bagi para koruptor berupa ta’zir atau sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bisa berupa teguran, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk hingga hukuman mati. Hukuman tersebut berbeda-beda sesuai dengan kadar perbuatan yang dilakukan.

Memberantas korupsi hanya utopis dalam sistem kapitalis. Buktinya keberadaan KPK tidak bisa memberantas korupsi secara tuntas, justru keberadaannya semakin dilemahkan. Hanya dengan penerapan sistem Islam, kasus suap dan korupsi bisa diberantas. Sistem Islam dibangun atas ketakwaan individu, berjalannya kontrol dari masyarakat, dan negara diatur berdasarkan hukum syariat.

Pribadi para pemimpin dan pejabat yang bertakwa tidak akan mencurangi rakyat atau mengambil manfaat atas jabatan yang diemban. Sebab, mereka menyadari politik dalam Islam adalah untuk mengurus urusan umat dan senantiasa meyakini bahwa Allah Swt selalu melihat. Adanya kontrol dari masyarakat tentunya membantu proses pemerintahan yang berjalan, baik kontrol terhadap kebijakan penguasa atau kinerja pejabat negara.

Selain itu, hukum-hukum yang diemban oleh negara berasal dari hukum syara yaitu atas petunjuk wahyu, aturan dari Sang Maha Pencipta dan Penguasa alam semesta. Mustahil aturan yang berasal dari wahyu rentan akan kepentingan. Dengan demikian koruptor hanya bisa diberantas dengan tuntas dalam penerapan syari’at Islam secara kaffah dalam kehidupan.

Wallahu a'lam bish-sawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak