Ditulis oleh: Sri Wahyu Anggraini, S.Pd
(Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Miris! Memberantas korupsi di negeri ini nampaknya hanya ilusi. Tindakan korupsi merupakan tindak kejahatan yang terjadi akibat penyelewengan wewenang atau tanggung jawab. Sepanjang tahun, berulang kali pejabat publik ditangkapi KPK hingga Indonesia seolah-olah telah menjadi ”surga” bagi para koruptor. Baru-baru ini kasus korupsi terjadi dilembaga peradilan, dimana 10 orang ditetapkan menjadi tersangka,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan tersangka Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS). Ivan adalah pihak swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Ia merupakan tersangka penyuap Hakim Agung Sudrajad Dimyati (SD) dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
"Satu orang tersangka yang hadir pada siang hari ini adalah satu dari 10 tersangka yg telah ditetapkan, tersangka itu adalah IDKS, swasta/debitur,’’ kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto saat jumpa pers di Gadung Merah Putih KPK. (Suara Merdeka, 4/10/22)
Fakta bahwa Hakim MA tertangkap OTT, sebenarnya menjadi indikasi bahwa korupsi telah semakin merajalela dan menjamur sehingga menjadi hal lazim dalam dunia politik. Baik dari kalangan bawah bahkan dari para petingginya. Sangat disayangkan kasus korupsi kali ini terjadi dilembga peradilan, dimana Peradilan adalah tempat memberi keadilan pada setiap perkara, tapi malah tempat ini menjadi darurat korupsi. Lantas keadilan seperti apa yang harus dicari?
Fenomena korupsi yang menjadi kebiasaan di kalangan hukum dan ini bukan hanya terkait masalah moral individu yang rendah, bukan juga terkait integritas kerja yang kurang atau sistem struktural lembaga yang minim pengawasan, tetapi ada hal yang lebih fundamental dari itu yakni buah dari penerapan sistem batil sekuler demokrasi kapitalisme. Sistem ini adalah sistem yang batil jadi apapun aturan yang dikeluarkan dari sistem ini hanya membawa kerusakan, sekularisme adalah aqidah batil karena memisahkan agama dalam kehidupan, menjadikan aturan buatan manusia Hukum tertinggi. Sekularisme tidak menjadikan tolak ukur agama sebagai pemutusan suatu perkara maka dalam hal ini tidak pernah dikenal halal atau haram, baik atau tidak baik, boleh atau tidak boleh sebagaimana diatur oleh syara dan manusia bebas mengatur sesuai kehendaknya. Sistem politik yang mendukung eksistensi sekularisme adalah demokrasi, di mana manusia bisa berdaulat atas hukum sehingga mereka mampu mengubah, merevisi, mengatur, menghapus, aturan yang mereka inginkan.
Benarkah fokus pemerintah ada pada upaya pemberantasan korupsi yang nyata mengancam negeri ini? Pasalnya, segala retorika penguasa tentang upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak sejalan dengan pelaksanaannya. Dalam sistem demokrasi kapitalistik, kasus korupsi semakin meningkat dan penanganannya semakin melemah. Masihkah harus bertahan dengan sistem ini?
Lalu bagaimana islam memberi solusi menyelsaikan atas hal ini?
Islam secara tegas telah melarang korupsi. Karena korupsi adalah salah satu upaya pengambilan hak orang lain. Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i dan diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).
Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik minbar’-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda,
مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
“Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.“
Ada hadits pula dari Abu Humaid As Sa’idiy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat).”
Strategi dalam menanggulangi kasus korupsi dalam Islam adalah dengan menerapkan sistem Islam secara totalitas dalam segala aspek kehidupan. Pertama, memiliki akidah yang kuat. Pondasi terkuat sistem pemerintahan Islam adalah akidah Islam. Kedua adanya pengawasan harta kekayaan pejabat. Dalam islam para pejabat wajib melaporkan harta kekayaannya, jika memiliki usaha harus melaporkannya. Ketiga penerapan sanski dan hukuman yang tegas. Dalam sistem khilafah, hukum Islam ditegakkan seadil-adilnya. Karena dalam Islam hukuman di dunia selain berfungsi sebagai jawabir juga sebagai jawazir. Jawabir sebagai penebus dosa dan jawazir sebagai pencegah terjadinya tindakan dosa tersebut. Dengan adanya sanski yang tegas maka akan membuat sesorang berpikir seribu kali untuk melakukan aktivitas melanggar hukum syara', bahkan akan berpikir seribu kali untuk mengambil harta yang bukan haknya.
Begitulah keberkahan dan keteraturan hadir ketika sistem Islam khilafah diterapkan. Menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani:
الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Dengan demikian pemerintahan Khilafah dalam menjalankan roda pemerintahan Islam berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. (Taqiyuddin an Nabhani, al Syakhshiyah al Islamiyah Juz II, Beirut, Libanon: Dar al Ummah, 2003. hlm 13).
Wallahu A'lam Bishawab...
Tags
Opini