Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat)
Peringatan hari Sumpah Pemuda di setiap tanggal 28 Oktober menjadi hal rutin diadakan. Momen tersebut dipelopori oleh para pemuda pejuang kemerdekaan pada tanggal yang sama di tahun 1928. Ikrar yang diucapkan merupakan semangat kemerdekaan dan salah satu tonggak pergerakan berdirinya negara Indonesia.
Untuk tahun ini, tema Sumpah Pemuda adalah "Bersatu Bangun Bangsa" (detiknews.com 20/10/22). Dengan harapan tema ini bisa membawa perubahan bagi generasi muda untuk bersama-sama membangun bangsa Indonesia ke arah lebih baik. Selain itu, paham nasionalisme bisa menginspirasi para pemuda mewujudkan nilai-nilai persatuan bangsa.
Wajar, melihat Indonesia mempunyai potensi besar sumber daya manusia yaitu pemuda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pemuda (16-30 tahun) sebesar 64,92 juta jiwa pada 2021. Jumlah tersebut setara dengan 23,90% dari total populasi Indonesia. Sebagai negara dengan bonus demografi membuat kekuatan generasi muda memiliki peluang besar. Kekuatannya dapat mempengaruhi perubahan secara revolusioner.
Tidak dipungkiri pemuda adalah calon yang akan memimpin negeri ini. Di tangan merekalah masa depan bangsa menuju arah yang lebih baik. Memiliki semangat juang yang tinggi, jiwa yang berapi-api, dan revolusioner merupakan beberapa faktor strategis pemuda dalam mewujudkan kebangkitan. Bahkan, sejarah dunia telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan sosial berada di tangan pemuda.
Akan tetapi harapan tinggal harapan. Faktanya, kondisi pemuda saat ini jauh dari kata baik-baik saja. Pemuda dan segudang permasalahannya telah mengikis identitas diri. Mulai dari tawuran, sex bebas, narkoba, perundungan, pencurian dan bentuk kriminalitas lainnya yang melanggar aturan hukum. Mereka terjebak dengan permasalahan pribadi yang tak kunjung usai. Sehingga gambaran pemuda sebagai generasi hebat penerus bangsa kian redup dan suram.
Krisis identitas yang terjadi disebabkan paham liberal-sekuler di kalangan generasi muda. Paham sesat ini menjauhkan agamadari kehidupan mereka. Sehingga kebebasan yang dipilih menjerumuskan pada perilaku menyimpang norma dan agama. Selain itu, sistem rusak ini melahirkan generasi hedonis, materialistis dan individualis.
Era globalisasi memudahkan pemikiran sesat dan budaya asing masuk ke dalam benak mereka. Tidak heran, tujuan hidupnya hanya mengejar materi. Bahkan, tidak tertarik untuk sekadar mengetahui kenapa tingginya inflasi akibat gejolak ekonomi dunia. Apalagi terkait politik dan segala kerusakan, mereka tidak memahaminya.
Kalaupun ada yang melek politik itu sebagian kecil. Seringkali mereka menyuarakan pendapatnya dan menuntut perubahan secara parsial. Tidak menyentuh akar permasalahan. Selain itu, perjuangan mereka cepat padam akibat tekanan di berbagai pihak yang mempersempit geraknya.
Sayangnya, generasi memahami politik identik dengan kekuasaan. Bukan rahasia lagi, kalau politik hanya dijadikan batu loncatan meraih kekuasaan demi kepentingan. Seandainya individu yang membuat kesalahan, cukup diganti individunya. Masih banyak pemuda yang menutup mata terhadap sistem demokrasi kapitalisme adalah sistem rusak.
Ini semua akibat opini yang terus didengungkan media-media Barat. Tentu saja, mereka tidak tinggal diam. Barat dan agen-agennya bekerja terstruktur, sistematis dan masif untuk membungkam kesadaran politik Islam generasi Muslim. Selain menjauhkan generasi Muslim dari pemahaman Islam, Barat juga membajak potensi pemuda demi menjaga hegemoni negara demokrasi.
Andaikan generasi Muslim paham, bahwa kebangkitan hakiki bukan hanya menyatukan seluruh elemen masyarakat. Apalagi dengan semangat juang sesaat yang mudah redup. Melainkan menyatukan antara perasaan dengan kesadaran yang benar disertai sandaran akidah yang shahih. Maka, kebangkitan hakiki generasi Islam yaitu memahami Islam sebagai aturan hidup.
Contohnya pada masa Rasulullah ﷺ, banyak para sahabat yang menyebarkan ide-ide Islam dan semangat melakukan perubahan. Salah satunya duta Islam yaitu Mush’ab bin ‘Umair ra. yang mengemban dakwah ke Madinah. Berkat perjuangannya dalam tempo kurang setahun, hampir seluruh penduduk Madinah masuk Islam.
Untuk mewujudkan generasi gemilang dan berkepribadian Islam, harus ada upaya berbenah di seluruh aspek. Pertama, peran orang tua sebagai pendidik utama dan pertama yang menanamkan akidah sejak dini dan membentuk kepribadian Islam.
Kedua, negara wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis Islam dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, mengenalkan generasi bagaimana politik Islam selama 13 abad terbukti mewujudkan kesejahteraan. Membuka forum-forum kajian untuk mengasah berpikir politik pemuda. Serta memberikan gambaran utuh terkait kebobrokan sistem demokrasi kapitalisme.
Generasi Muslim seharusnya sadar, bahwa di pundak mereka ada amanah memimpin umat. Masa muda bukan saatnya terjebak dalam hedonisme, kesenangan tanpa batas, bersikap acuh atau individualis. Oleh karena itu, untuk mewujudkan generasi muda yang memiliki pola pikir dan sikap Islam merupakan keharusan. Dengan membangun karakter Islam, insyaAllah generasi Islam mampu mewujudkan kebangkitan dan peradaban gemilang. Waallahu a'lam bis shawwab.
Tags
Opini