Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritik momen perayaan ulang tahun Ketua DPR Puan Maharani di rapat paripurna saat demo buruh terkait kenaikan BBM sedang berlangsung. Peneliti Formappi Lucius Karus menilai hal itu memalukan.
"Saya kira sih potret paripurna DPR kemarin yang diisi dengan momen perayaan HUT Ketua DPR Puan Maharani sesungguhnya mengkonfirmasi ironis DPR sebagai wakil rakyat. Apalagi di saat bersamaan dengan Paripurna yang diisi dengan perayaan Ulang Tahun itu, di pintu masuk DPR sendiri sedang ada demonstrasi massa yang ingin menyampaikan aspirasi ke DPR," kata Lucius dalam keterangannya, Rabu (7/9/2022).
"Ironis yang memalukan itu sesungguhnya. Rakyat sedang berpanas-panas memperjuangkan penolakan kenaikan harga BBM, sedangkan DPR di ruangan dingin justru berleha-leha merayakan hari ulang tahun ketua DPR-nya," lanjutnya.
Saat rakyat menjerit menolak kenaikan harga BBM, DPR menunjukan tidak ada empati pada rakyat, sebaliknya DPR tetap merayakan ulang tahun ketua DPR yang bersamaan dengan hari jadi DPR. Inilah wajah asli pemimpin dalam sistem kapitalis, pandangan politik demokrasi hanyalah kekuasaan untuk kepentingan kapitalis, bukan kemaslahatan rakyat.
Demokrasi melegalisasi kebijakan seolah atas nama rakyat padahal demi kepentingan kapitalis. Setiap kritik yang membela kepentingan rakyat dianggap ancaman bagi kepentingan kapitalis. Tak heran, jika penguasa nampak hilang empati saat rakyat menuntut haknya di hadapan mereka. Sistem politik demokrasi dalam sistem kehidupan kapitalistik telah menjadikan masyarakat termasuk penguasa hanya berorientasi pada materi baik mereka yang duduk di kursi legislatif, eksekuti, maupun yudikatif.
Apalagi jika kita berbicara sistem politik demokrasi telah memunculkan celah untuk para pejabat menggondol cuan sebanyak mungkin. Diawali dengan kontestasi politik demokrasi yang begitu mahal membuat para kandidat hanya berputar pada lingkungan pengusaha atau wakil pengusaha. Sehingga, pejabat publik yang terpilih hanyalah dari kalangan yang memiliki niat mendulang materi, wajar saja, rakyat yang seharusnya mereka urusi malah menjadi terabaikan.
Jangankan ada rasa empati pada kondisi rakyat yang serba susah, yang ada malah menjadikan umat sebagai objek meraih keuntungan pribadi.
Oleh karena itu, slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat nyatanya ilusi sistem politik demokrasi. Rakyat yang dimksud bukan rakyat secara keseluruhan, tetapi hanya segelintir orang. Memang benar demokrasi memberi ruang kebebasan berpendapat untuk mengkritik penguasa, namun kritik tersebut dibatasi pada hal yang tidak mengganggu kursi penguasa dan tidak mengancam eksistensi ideologi kapitalisme.
Selebihnya, kritik dari rakyat tidak banyak mengubah keputusan atau kebijakan penguasa.
Berbeda dengan sistem Islam yang terbukti mampu memimpin 2/3 dunia selama 13 abad, aturannya yang bersumber dari pencipta akan menutup celah kerusakan akibat ulah manusia, Islam justru sangat mendorong setiap muslim untuk melakukan muhasabah lil hukkam hal itu dilakukan semata-mata untuk menjaga iklim ideal di masyarakat agar tetap berada dalam koridor hukum syariat.
Sebab, dalam pandangan Islam politik negara adalah meriayah/mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah Swt. Kekuasaan yakni (Kekhilafahan) merupakan metode menerapkan Islam kafah untuk kemaslahatan umat.
Meskipun aturan hukum yang diterapkan adalah buatan yang maha sempurna, namun Khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan lupa.
Kritik umat terhadap penguasa adalah sunnah Rasul dan tabiat dalam Islam. Kritik tersebut adalah wujud rasa cinta rakyat pada pemimpin agar tidak tergelincir pada keharaman yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wa ta'ala.
Di sisi lain, sistem politik Islam mencetak penguasa menjadi sosok yang mudah menerima masukan, sebab sistem politik Islam yang mudah dan berbiaya murah akan menyingkirkan keterlibatan korporasi dalam kontestasinya. Kebijakan yang ditetapkan penguasa akan terbebas dari setiran pihak manapun, lebih dari itu, kepemimpinan dalam Islam adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Hal ini menjadi dorongan utama pemimpin dalam Islam untuk terus membenahi kebijakanya agar tetap berada dalam koridor syariat.
Adapun mengenai biaya gambaran nyata dalam sistem Islam menerima kritik dari rakyatnya terjadi pada peristiwa Umar bin Khatab yang dikritik rakyat soal penetapan mahar. Pada saat itu, Khalifah Umar bin Al-Khatab menerima laporan kaum perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal. Kemudian Khalifah Umar pun berpidato "kenapa kalian memperbanyak pemberian mahar kepada kaum perempuan ? Pada masa Rasulullah saw, dan Abu Bakar Shiddiq mahar > 400 dirham ke bawah, andaikan memperbanyak mahar termasuk perbuatan takwa dan merupakan kemuliaan, niscaya kalian tidak akan mampu mengungguli itu,"
Khalifah Umar membatasi jumlah maksimal mahar yang diminta para wanita agar tidak berlebih-lebihan hingga menyusahkan kaum muslim yang hendak menikah jumlah maksimal mahar yang ditetapkan adalah sebesar 400 dirham.
Inilah gambaran pemimpin dalam sistem politik Islam, yakni Khilafah Islamiyah yang mudah menerima kritik demi kepentingan rakyat, pemimpin-pemimpin seperti ini tentu tidak akan kita temukan dalam sistem politik demokrasi.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini