Sumber gambar: retizen.republika.co.id
Oleh: Ummu Diar
Perjalanan menjadi ibu adalah fase panjang di salah satu kehidupan muslimah. Menjadi ibu bukan sebatas mampu melahirkan dan membesarkan putra putri semata. Ada nilai penting lebih dari sekedar paramater fisik, yakni bagaimana kualitas generasi ketika kelak sudah tak lagi dibersamai kedua orang tuanya.
Ranah menyiapkan generasi inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi siapapun yang menyandang gelar sebagai ibu. Betapa tidak, untuk mampu melakukan penyiapan terbaik memang diperlukan kemampuan yang luar biasa. Prosesnya panjang, teknisnya memakan tenaga dan waktu, namun hasilnya tidak selalu sama dengan apa yang diimpikan.
Yang akan disiapkan adalah benda bernyawa, yang di dalamnya juga memiliki berbagai naluri, memiliki kebutuhan jasmani, dan juga memiliki modal akal dengan segala karakteristiknya. Maka berbagai faktor dari internal dan eksternal anak akan turut berkontribusi pada hasil yang diharapkan.
Namun, sekali lagi penyiapan generasi bahkan pencetakan mereka menjadi individu berkaliber pemimpin memanglah di tangan ibu yang dominan. Memang ibu bukan satu-satunya yang bertanggungjawab, namun secara fitrah ibulah yang pertama dan utama hadir bagi buah hatinya. Sehingga ibulah yang memiliki kesempatan terluas dengan kepekaan terbaik untuk mempersiapkan generasi.
Sangat disayangkan jika saat ini untuk menjalani peran penting tersebut tidaklah mudah. Tidak semua ibu beruntung untuk mendampingi putra putrinya. Ada banyak beban ganda yang harus dipikul beberapa kaum ibu, sehingga peran dalam urusan pengarahan generasi terpaksa diwakilkan pada yang lain.
Terlebih dalam kondisi ekonomi kapitalis yang serba menuntut pemenuhan kebutuhan dengan adanya cukup uang, kaum ibu pada akhirnya harus ikut arus di roda perekonomian. Tak menjadi soal jika ibu kuat dan tetap mampu membagi waktunya dengan seimbang. Tapi menjadi problem serius ketika cara pandangnya sudah ikut tercuci oleh mindset materialisme.
Materialisme yang menyusup ke sebagian kalangan menjadikan adanya anggapan bahwa tidak apa-apa anak diwakilkan asalkan kebutuhannya secara materi terpenuhi dengan baik. Mereka lebih memilih menjalankan peran ekonomi lebih dominan dibandingkan melakukan pendampingan dan pengurusan langsung terhadap anak. Dalihnya adalah akan jauh lebih kasihan anak jika didampingi tapi banyak kebutuhan yang tidak bisa diberikan.
Di saat yang sama, banyak juga yang berkesempatan langsung mendampingi putra putrinya secara penuh, namun ada dan tidak adanya seakan sama saja. Fisiknya ada namun ilmu untuk mendampingi dan mengarahkannya belum ada. Sehingga berpendapat mengikuti arus kekinian saja sudah cukup. Sekadar tahu dan bisa beradaptasi dengan tren terbaru sudah dianggap baik.
Padahal dalam proses membesarkan anak, ada proses pendidikan dan pengarahan yang tidak selalu dapat dipenuhi dengan materi dan mengalir saja mengikuti arus. Hal-hal di luar kebutuhan jasmani, yakni naluri-naluri anak sesungguhnya tidak mutlak terpenuhi dengan banyaknya materi. Dan justru tidak boleh dibiarkan mengalir saja tanpa panduan yang benar.
Misalnya naluri pengagungan terhadap Rabbnya, naluri untuk diakui kemampuannya, dan hal yang semisal, tentu akan berbeda jika itu datang dari orang tuanya sendiri dan diarahkan dengan benar. Akan besar peluang anak terhindar dari penyepelean ibadah karena merasa sudah punya segalanya tanpa harus repot mengerjakan ritual. Akan terhindar dari ibadah asal-asalan karena tidak tahu bagaimana caranya yang benar.
Di sinilah peran ibu dibutuhkan. Penting untuk disiapkan, sebab berawal dari ibulah bibit generasi pemimpin mulai disuburkan. Berikut hal yang dapat dilakukan ibu sebagai ikhtiar penyiapan generasi terbaik:
1. Ibu memiliki kesadaran penuh bahwa pernikahan adalah dalam rangka melangsungkan kelestarian jenis. Maka jika dalam pernikahan status segera beralih menjadi ibu, itu adalah anugerah sekaligus amanah mulia dariNya. Selanjutnya kesadaran harus dinaikkan bahwa generasi saat ini adalah pengisi peradaban masa depan.
Sehingga baiknya generasi saat ini berpengaruh pada baiknya peradaban mendatang.
2. Tak lelah dengan proses belajar. Kesadaran akan kualitas generasi sebagaimana yang disebutkan dalam poin pertama akan memantik semangat ibu untuk mempersiapkan dirinya sebagai sebaik-baik sosok bagi keturunannya. Kalaupun dalam prosesnya memang tetap tidak bisa, maka akan ada opsi kedua yakni mencarikan guru terbaik seraya mendampingi dari sisi mentalnya. Hadirnya sosok ibu dalam proses tumbuh kembang dan pendidikan anak adalah value tak tergantikan.
3. Ibu memiliki visi kepemimpinan yang besar. Untuk melahirkan generasi kaliber pemimpin, maka ibu juga perlu mencotohkan secara riil. Jiwa kepimpinan ini dapat ditransfer kepada anak dengan pembiasaan, pemantauan pelaksanaan, hingga pengevaluasian rencana pendidikan anak dalam keluarga. Pendidikan di dalam rumah ada awal dan pondasi bagi pola sikap dan pola pikir anak. Sedangkan yang didapatkan di sekolah dan lingkungan adalah perluasan informasi dan wawasannya. Jiwa kepemimpinan anak yang biasa dilatih akan berpengaruh pada kemampuan anak menjadi sosok mandiri, kuat, dan solutif ketika harus berhadapan dengan tantangan dunia luar.
Lebih idealnya, peran penting ibu ini harusnya didukung dengan lingkungan luar rumah yang juga ramah dan peka terhadap kebenaran pola sikap dan pola pikir anak. Masyarakat yang berkontribusi positif pada proses edukasi generasi. Yang sama-sama mengkondisikan generasi mewarisi jiwa kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan Nabi.
Hanya saja masyarakat tipikal edukatif sulit dibayangkan bila sekularisme dan turunannya masih terus mengepung. Sebab selama agama masih tak dipersilahkan leluasa dijadikan acuan di ranah publik, maka selama itu pula definisi kebenaran absurd. Paramater kepemimpinan tak punya rujukan pasti, sehingga kualitas kepemimpinan terbaik hanya sebatas narasi. []