Oleh : Gita Annisa, SE
(Menulis Asyik Cilacap)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan bahwa pemenuhan hak dan perlindungan anak di Tanah Air perlu menjadi prioritas bersama. Karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terus mengajak semua pihak berperan melalui sinergi dan kolaborasi bersama dalam rangka perlindungan anak Indonesia.
Sejalan dengan rencana tersebut, Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI) menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2022 yang berlangsung selama dua hari, yaitu tanggal 14-15 Oktober 2022 dengan tema “APSAI Maju, Anak Indonesia Terlindungi”. Acara ini dilakukan secara hybrid dan diikuti oleh anggota APSAI pusat dan 18 APSAI daerah yang hadir dari berbagai kota/kabupaten dan provinsi di Indonesia.
Saat ini, APSAI telah berdiri di 19 propinsi, 58 kabupaten/kota dan beranggotakan 1440 perusahaan anggota di seluruh Indonesia. Wida Septarina mengatakan, program 100 hari pengurus terpilih adalah melakukan konsolidasi internal organisasi untuk memastikan adanya kesatuan langkah pusat dan daerah untuk percepatan target Indonesia Layak Anak 2030.
Sejak 2006, pemerintah menyatakan belum ada satu pun wilayah yang mendapat predikat kota layak anak. Kasus dugaan pencabulan terhadap anak yang dilakukan seorang pejabat BUMD di Solo, Jawa Tengah, mengemuka beberapa pekan sebelum kota ini meraih penghargaan kategori utama sebagai kota perintis layak anak untuk kelima kalinya.
Kota lain yang mendapat predikat Kota Layak Anak adalah Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Di kota ini juga terdapat kasus kekerasan seksual terhadap anak di mana seorang ayah diduga merudapaksa putri kandungnya, kurang dari satu bulan pemberian penghargaan kategori madya kota perintis layak anak.
Margaretha Winda, warga Palangka Raya, mengatakan sejauh ini kotanya belum secara utuh melakukan penanggulangan terhadap kasus kekerasan anak, termasuk membuka saluran pengaduan. "Saya juga masih bingung, saya merasa berdosa sekali melihat anak tetangga saya dipukuli,“ katanya.
Berdasarkan laporan kepolisian Kalimantan Tengah, pada 2021 terdapat 85 kasus anak dan 22 kasus kekerasan fisik. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya, seperti dikutip dari Kompas TV.
Kasus kekerasan seksual juga terjadi pada anak berusia 11 tahun oleh ayah kandungnya sendiri di Depok, Jawa Barat. Kendati demikian, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Nahar menjelaskan bahwa status Kota Layak Anak yang disandang Depok, Jawa Barat tidak bisa langsung dicabut karena kasus tersebut.
Pegiat hak anak menilai Indonesia tak akan pernah punya kota layak anak bahkan sampai 20 tahun mendatang, selama kementerian dan lembaga masih bekerja sendiri-sendiri dalam penanganan kekerasan terhadap anak. Pemerintah mengakui penanganan kekerasan terhadap anak masih belum optimal terlihat dari maraknya kasus-kasus kekerasan pada anak.
Sehingga, bisa disimpulkan bahwa predikat KLA tidak berkorelasi positif terhadap keamanan anak dari berbagai kekerasan, serta terciptanya lingkungan yang ramah anak. Terbukti pula bahwa negara tidak bisa memberikan perlindungan secara sistematis dalam menjamin keselamatan anak-anak Indonesia.
Kasus kekerasan terhadap anak semakin tak terkendali. Ancaman datang dari dalam maupun luar lingkungan terdekat. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak-anak untuk berlindung dan mendapatkan perhatian justru bisa menjadi ancaman. Tidak sedikit kasus kekerasan pada anak datang dari keluarga sendiri.
Sungguh disayangkan penerapan sistem kapitalisme yang bernafaskan
sekuleris-individualis mencetak masyarakat yang brutal dan minim empati. Pun sistem sanksi yang tidak tegas dan mudah untuk dibeli. Menjadikan kasus tindak kekerasan terhadap anak sulit teratasi.
Disisi lain, berbagai pihak pun sudah mencoba mencari-cari solusi. Alih-alih teratasi, faktanya kasus tindak kekerasan ini justru semakin meningkat tinggi. Dengan demikian, tidak cukup solusi parsial saja. Namun, dibutuhkan rekontruksi tatanan masyarakat yang mampu melindungi anak dari tindak kekerasan ini.
Maka dari itu, ketika negara berdiri di atas sistem yang rusak maka aturan-aturan yang berasal darinya pun akan menimbulkan masalah. Seperti munculnya gaya hidup hedonisme dan tingginya biaya hidup dalam sistem kapitalisme yang membuat banyak orang mengalami stres. Ketika stres melanda, itulah anak bisa menjadi pelampiasan amarah para orang tua.
Belum lagi, dengan perkembangan teknologi yang luar biasa pesat di tengah-tengah masyarakat dengan tidak diimbangi dengan akidah yang kuat yang menyebabkan masyarakat sangat mudah terpengaruh dengan berbagai hal negatif dan sesat terutama pornografi yang akhirnya melahirkan berbagai tindakan asusila dan kejahatan seksual, seolah kini senantiasa menghantui masyarakat.
Perlindungan hakiki terhadap anak dan perempuan hanya akan diperoleh ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam mengatur kehidupan. Islam mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk anak dan perempuan, sehingga anak dan perempuan dapat hidup aman dan terjamin.
Telah terbukti solusi tambal sulam seperti program KLA tidak dapat menyelesaikan persoalan ini. Karena sistem yang satu berkaitan dengan sistem yang lain. Lalu, sistem seperti apa yang dapat menyelesaikan masalah kekerasan pada anak secara tuntas?
Allah Swt. berfirman:
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah : 50)”
Berkaitan dengan perlindungan anak, Islam mewajibkan anak yang belum baligh berada dalam pengasuhan orang tuanya yang hidup sejahtera. Islam juga mewajibkan orang tua untuk melakukan pengasuhan yang baik sesuai tuntunan Islam, juga pengasuhan yang lemah lembut yang menjaga fisik dan mental anak.
Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.”
Sistem pendidikan dalam Islam adalah berbasis pada akidah dan syariat Islam. Sehingga akan terbentuk generasi muda yang cerdas dan berakhlak baik, paham agama, dan senantiasa merasa diawasi oleh Sang Maha Mengetahui yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Dari situ akan dihasilkan tingkah laku yang senantiasa terikat dengan hukum syara’. Dengan begitu, akan mencegah kekerasan ataupun kejahatan di dunia pendidikan dan remaja.
Islam juga menetapkan adanya keimanan kepada Allah dan Hari Akhir sehingga setiap individu menyadari adanya
pertanggungjawaban kepada Allah di akhirat kelak. Dengan ketaqwaan yang kuat, semua individu (termasuk orang tua) akan senantiasa memberikan perlindungan terbaik bagi anak.
Begitu juga dengan anggota masyarakat pada umumnya, mereka akan diarahkan menjadi pribadi yang baik dan taat kepada Rabbnya. Semua itu tentu didukung oleh sistem hukum yang adil dan tegas yang diterapkan oleh negara. Hukum ditegakkan untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan serta mencegah orang lain berbuat yang sama. Walhasil akan tercipta keamanan di tengah masyarakat. Seperti dalam sabda Rasulullah saw.,
“Suatu hukum yang ditegakkan di bumi lebih baik baginya daripada diberi hujan selama empat puluh hari.” (HR An-Nasai, Ibnu Majah)
Ketaqwaan juga membuat penguasa dalam merumuskan dan menerapkan aturan yang memastikan agar semua anak terhindar dari segala bentuk kekerasan, serta melindungi dari berbagai ancaman. Walhasil, penerapan syariat Islam kaffah adalah jaminan perlindungan anak secara hakiki dalam kehidupan ini.
Inilah solusi Islam untuk mengatasi kekerasan terhadap anak. Solusi tuntas yang dapat memberikan keadilan dan ketenangan pada semua lapisan masyarakat.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Tags
Opini