Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa pemenuhan hak dan perlindungan anak di Tanah Air perlu menjadi prioritas bersama. Karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terus mengajak semua pihak berperan melalui sinergi dan kolaborasi bersama dalam rangka perlindungan anak Indonesia.
Bintang mengapresiasi adanya peran aktif yang melibatkan berbagai unsur dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak di Tanah Air, termasuk adanya partisipasi dari Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI) 2022. Kementerian PPPA berharap asosiasi tersebut dapat mendukung upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak serta program kabupaten/kota layak anak di berbagai daerah.
Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI) menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2022 yang berlangsung selama dua hari, 14-15 Oktober 2022 dengan tema “APSAI Maju, Anak Indonesia Terlindungi”. Acara ini dilakukan secara hybrid dan diikuti oleh anggota APSAI pusat dan 18 APSAI daerah yang hadir dari berbagai kota/kabupaten dan provinsi di Indonesia.
Agenda munas dan rakernas salah satunya adalah menerima laporan pengurus APSAI Pusat 2016-2022 dan memilih serta melantik pengurus APSAI Pusat periode 2022-2027. Kegiatan yang dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, ini juga menyepakati langkah sinergis pusat daerah serta kolaborasi pemangku kepentingan untuk mendorong percepatan upaya menuju Indonesia Layak Anak 2030.
Agenda munas dan rakernas pada hari pertama adalah pengesahan tata tertib munas dan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Pengurus APSAI periode 2016-2021 oleh Ketua Umum APSAI Luhur Budijarso. Luhur memberikan highlight beberapa pencapaian penting di masa kepengurusannya, seperti aksi nyata perusahaan anggota dalam mendukung hak dan kesejahteraan anak, penyelenggaraan Anugerah Pelangi, dan pengakuan keberadaan APSAI di forum internasional.
Dalam Islam, manusia sesungguhnya terikat dengan aturan Allah. Sebagai hamba Allah Swt, ia wajib melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi segala Larangan-Nya. Prinsip pendidikan Islam pada dasarnya adalah untuk menanamkan ketaatan anak pada Rob-Nya. Dalam sistem kapitalisme sekuler, anak bebas memilih sesuai pandangannya. Dari sini jelas ada upaya untuk mengaburkan dan menjauhkan Islam dari agamanya dan pada akhirnya mereka menjalankan agamanya hanya sebatas ibadah ritual semata.
Sebenarnya jika dikaji lebih mendalam, tingginya angka kekerasan terhadap anak baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat bermula dari minimnya pemahaman agama orang tua. Karena kehidupan sekuler liberal telah menafikan agama dalam mengatur kehidupan. Sehingga keluarga dipaksa terdidik dengan nilai-nilai sekuler. Sebagai imbasnya, orang tua tidak paham hak dan kewajiban mereka kepada anak.
Sementara perihal kesehatan dasar, Kesejahteraan, pendidikan, dan perlindungan anak (keamanan) sejatinya adalah tanggung jawab negara, bahkan bukan hanya untuk anak, melainkan seluruh rakyat. Sayangnya, pemenuhan kebutuhan dasar ini hampir tidak bisa dinikmati masyarakat karena aspek kesehatan, pendidikan, serta keamanan dikapitalisasi.
Sebagai contoh, masyarakat sulit mengakses kesehatan gratis; mahalnya biaya pendidikan, disorientasi pendidikan (pendidikan hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pasar/kapitalis, yaitu tersedianya tenaga buruh, bukan membentuk kepribadian mulia) kesejahteraan ekonomi yang tidak merata, sulitnya lapangan kerja, dan perolehan sandang, pangan, papan yang masih jauh dari kata layak. Ini semua terjadi secara sistematis dan berkepanjangan.
Di tahun 2020, ada lebih dari 4.116 kasus kekerasan pada anak. Tahun 2021, Kementerian PPPA mencatat terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lalu, sejauh mana pengaruh KLA terhadap angka kekerasan terhadap anak? Apakah mengalami penurunan, stagnan, atau malah meningkat? Inilah yang harus direnungkan. Relevansi KLA dengan pencegahan angka kekerasan terhadap anak dan pemenuhan hak anak belum juga tampak.
Masalah pemenuhan, perlindungan, dan kekerasan terhadap anak tidaklah berdiri sendiri. Ada satu sebab utama yang membuat problem-problem anak itu terus mengemuka, yaitu penerapan ideologi kapitalisme sekuler.
Ketika masalah disolusikan dengan ideologi salah, tetap hasilnya pasti salah. Maka dari itu, hak anak akan terpenuhi manakala jika kita mengambil solusi fundamental untuk mencabut akar masalahnya. Yaitu menjadikan Islam sebagai lapisan perlindungan kokoh bagi anak dan generasi.
Dalam Islam, memenuhi hak anak adalah mengasuh dan mendidiknya dengan akidah Islam, memberikan tempat tinggal yang baik, memperhatikan kesehatan dan gizinya, serta memberi pendidikan terbaik.
Melindungi generasi, artinya mengantarkan mereka mewujudkan tujuan mereka diciptakan, yaitu sebagai hamba Allah Swt yang mengisi kehidupannya dengan beribadah (QS. 51:56); menjadi generasi khairu ummah yang senantiasa mengajak manusia kepada cahaya Islam, dan melakukan amar makruf nahi munkar (QS 3:110); serta menjadi pemimpin orang-orang bertakwa (QS 25:74).
Karakter mulia tersebut tidaklah lahir begitu saja, namun dibutuhkan upaya dan rencana sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Dalam perkara ini, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar yang layak, yaitu sandang, pangan, dan papan. Negara menciptakan lapangan kerja bagi para ayah agar mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Peran ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak mereka. Ia tidak akan dibebani dengan permasalahan ekonomi.
Dengan penerapan kurikulum berbasis akidah Islam, tidak sulit mencetak generasi berkepribadian mulia. Penanaman akidah Islam dari usia dini akan membentuk akidah yang kuat, anak tak akan melakukan tindakan yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
Negara memberikan akses kesehatan yang gratis dan murah. Dengan sistem kesehatan gratis ataupun murah, rakyat tidak akan kesulitan mendapat layanan kesehatan dan memberikan gizi dan nutrisi terbaik bagi anak-anak mereka.
Negara akan melakukan pengaturan dan pengawasan media massa seperti koran, majalah, buku, tabloid, televisi, situs internet, termasuk juga sarana-sarana hiburan seperti film dan pertunjukan, berbagai media jaringan sosial seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya. Tujuan pengawasan ini agar semua sarana itu tidak menjadi wahana penyebarluasan dan pembentukan opini umum yang dapat merusak pola pikir dan pola sikap generasi muda Islam.
Selain itu, kontrol masyarakat berjalan dengan pembiasaan amar makruf nahi mungkar. Dengan karakter dakwah ini, angka kriminalitas dan kekerasan yang kerap menimpa anak bisa diminimalisir bahkan dihilangkan dengan pengawasan masyarakat serta sistem sanksi yang tegas.
Keluarga adalah bangunan pertama pembentukan kepribadian anak. Dengan pemahaman Islam yang benar, orang tua akan mendidik anak-anak mereka dengan baik.
Ketika semua lapisan pencegahan sudah dilakukan, lalu masih ada yang melakukan pelanggaran syariat, maka sistem sanksi Islam akan ditegakkan. Tujuannya, agar para pelaku kekerasan jera dan tidak akan mengulangi kemaksiatannya lagi.
Pemenuhan dan perlindungan terhadap anak adalah tanggung jawab bersama. Negara sebagai penanggung jawab utama bertugas memastikan individu, keluarga, dan masyarakat mampu melaksanakan kewajibannya secara sempurna. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan penetapan kebijakan-kebijakan yang menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat pada umumnya, dan anak-anak pada khususnya.
Sistem yang terintegrasi ini hanya bisa diterapkan secara ideal dalam institusi pemerintahan Islam, yaitu negara Khilafah Islamiah. Dengan Khilafah, lapisan perlindungan terhadap anak dan generasi akan tercipta secara Kaffah. Sehingga program Indonesia Layak Anak (IDOLA) dan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) akan benar-benar terwujud dan tidak akan berakhir hanya sekedar untuk mengejar gelar semata.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini