Oleh: Endang S.
Musim penghujan telah tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya banjir selalu menyapa. Beberapa daerah di Indonesia tidak luput dari sapaan banjir. Salah satunya di Ibukota yang lagi-lagi terendam banjir.
Dikutip dari laman Liputan6.com,(8/10/2022) Hujan yang mengguyur Jakarta serta sejumlah daerah, khususnya di daerah penyangga seperti Depok, Bekasi, serta Tangerang membuat sejumlah wilayah terdampak banjir. Bahkan, banjir yang terjadi di Jakarta sampai ada yang menyebabkan meninggal dunia. Di mana, berdasarkan kesimpulan sementara BPBD DKI Jakarta, tembok rubuh di MTSN 19 Jakarta yang membuat siswa luka dan meninggal dunia, lantaran tak bisa menahan volume air yang sudah meluap.
Berdasarkan data BPBD DKI Juga, hujan yang terjadi pada Kamis 6 Oktober 2022, ada sejumlah wilayah yang terdampak banjir dan pada Jumat (7/10/2022) sudah ada yang surut. Adapun di Jaksel ada 111 RT yang sempat banjir kemudian airnya surut. Di Jakpus 4 RT, Jaktim 2, Jakbar 8 RT.
Berdasarkan data BMKG, diprakirakan awal musim hujan di Indonesia akan terjadi di bulan September hingga November 2022 dengan puncak musim penghujan diprakirakan terjadi di bulan Desember 2022 dan Januari 2023. Sedangkan, Fenomena La Nina diprakirakan akan terus melemah dan menuju netral pada periode Desember 2022-Januari 2023. Dan, Fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) diprakirakan akan tetap negatif hingga November 2022.
Dengan adanya kombinasi dari kedua fenomena tersebut (La Nina dan IOD Negatif) diprakirakan akan berkontribusi pada meningkatnya curah hujan di Indonesia sehingga berpotensi sebagai penyebab banjir. BMKG juga menyebut, mayoritas wilayah kondisi musim hujan mengalami normal. Namun memang ada juga yang mengalami hujan atas normal (lebih basah atau lebih tinggi) dan bawah normal (lebih kering atau rendah).
Lagi-lagi faktor alam jadi kambing hitam atas bencana yang ada di negeri ini. Padahal kita tahu banyak faktor yang mengikutinya. Banjir sebenarnya bukan kali ini saja terjadi, hampir setiap musim hujan sudah bisa dipastikan akan disapa oleh banjir. Dan banyak dampak dari akibat banjir ini, risiko ekonomi maupun sosial yang ditimbulkan tidak terkira. Dengan beralasan karena faktor alam, masyarakat dituntut untuk menerima keadaan yang terjadi.
Bencana banjir ini tidak semata karena faktor alam saja. Kita tahu bersama, bagaimana hutan-hutan telah berkurang dan digantikan oleh gedung-gedung pencakar langit. Dan kemudian negara lambat untuk melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak bisa terantisipasi sebaik-baiknya. Ketika para penguasa kurang tanggap akan adanya bencana ini, sehingga ketika banjir datang, mereka sibuk saling tuding antara satu dengan yang lainnya, saling serang satu dengan yang lainnya sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah banjir ini.
Untuk menyelesaikan masalah banjir ini, harus secara sistemis.
Karena bencana itu sendiri bersifat sistemis. Hilangnya sebagian besar hutan kita, adalah penyumbang adanya bencana tersebut. Hutan dan tanah di Kalimantan hingga Papua masih terus mengalami eksploitasi oleh korporasi, yakni penggundulan hutan untuk dialihkan menjadi ekstraktif.
Aktifitas industri ekstraktif yang mengeksploitasi alam ini bukan hanya berdampak pada menyusutnya hutan yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon dioksida, namun sekaligus ikut memperparah laju pemanasan global dan mengancam sumber penghidupan masyarakat.
Dari riset yang telah dilakukan oleh WALHI didapatkan data bahwa lahan seluas 159 juta hektar sudah terkapling dalam ijin investasi industri ekstraktif. Luas wilayah daratan yang secara legal sudah dikuasai oleh korporasi yakni sebesar 82.91%, sedangkan untuk wilayah laut sebesar 29.75%.
Data IPBES 2018 juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar, yang mana merupakan terbesar di region asia tenggara. Sedangkan data kerusakan sungai yang dihimpun oleh KLHK tercatat bahwa, dari 105 sungai yang ada, 101 sungai diantaranya dalam kondisi tercemar sedang hingga berat.
Bukan hanya itu, penelusuran WALHI pada tahun 2013 hingga 2019 didapatkan data yang cukup mencengangkan, dimana penguasaan lahan sawit di Indonesia ternyata selama ini hanya dikendalikan oleh 25 orang taipan. Total luasan hutan yang dikuasai oleh konglomerat sawit ini sebesar 12.3 juta hektar. Dari total luas hutan yang sudah mendapat lampu hijau dan mengantongi ijin tersebut, 5.8 juta hektar diantaranya sekarang ini sudah menjadi perkebunan sawit. (WALHI, 25/8/2021).
Begitulah jika Sumber Daya Alam(SDA) diserahkan kepada korporasi, maka dampaknya kerusakan yang sangat merugikan. Semua masalah yang terjadi hari ini tak lepas dari sistem kapitalis. Maka sudah saatnya kita kembali kepada aturan Allah yang Maha sempurna, di dalam Islam telah jelas akan kepemilikan terhadap SDA.
Rasulullah saw bersabda :
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Selain itu, agar bencana banjir tidak terulang lagi, para penguasa tidak henti-hentinya untuk menyampaikan pentingnya untuk menjaga lingkungan serta kewajiban memelihara hutan dan resapan dari kerusakan. Dan penguasa bertindak tegas serta memberinya sanksi yang berat kepada orang-orang yang merusak tanpa memandang bulu.
Selain kebijakan preventif tersebut, penguasa juga mengadakan kebijakan kuratif saat dan ketika telah terjadi Bencana. Ketika terjadi banjir, maka penguasa akan bertindak cepat untuk menolongnya. Melibatkan masyarakat yang dekat dengan bencana, kemudian menyediakan apa-apa yang diperlukan bagi para korban banjir, seperti makanan, obat-obatan, pakaian maupun tenda untuk berteduh.
Sementara ketika telah terjadi bencana, maka penguasa juga melakukan mental recovery dengan menggandeng alim ulama. Agar para korban bisa menerima dengan sabar dan iklas serta menerima qodho Allah SWT. Begitulah Islam mengatasi ketika terjadi bencana banjir.
wallahu a'lam bi showab