Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah melakukan berbagai transformasi Merdeka Belajar di semua jenjang, baik pendidikan dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi guna mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul yang berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila. Untuk menyelaraskan capaian perubahan tersebut, Kemendikbudristek telah menyusun arah baru transformasi dalam pendidikan tinggi salah satunya dengan meluncurkan Merdeka Belajar Episode Kedua Puluh Dua: Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). (www.pressrelease.kontan.co.id, 7/9/2022)
“Arah baru transformasi seleksi masuk PTN dilakukan melalui lima prinsip perubahan, yaitu mendorong pembelajaran yang menyeluruh, lebih berfokus pada kemampuan penalaran, lebih inklusif dan lebih mengakomodasi keragaman peserta didik, lebih transparan, serta lebih terintegrasi dengan mencakup bukan hanya program sarjana, tetapi juga diploma tiga dan diploma empat/sarjana terapan,” disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim saat peluncuran Merdeka Belajar Episode Kedua Puluh Dua secara daring di Jakarta, Rabu (7/9).
Dikatakan Mendikbudristek, ada tiga transformasi seleksi masuk PTN. “Pertama, seleksi nasional berdasarkan prestasi, kemudian seleksi nasional berdasarkan tes, dan yang ketiga adalah seleksi secara mandiri oleh PTN,” tutur Mendikbudristek.
Memahami kondisi Pendidikan saat ini, sungguh kerusakan berasal dari falsafah Pendidikan. Tidak disertakannya aqidah sebagai landasan kurikulum Pendidikan, telah membawa kerusakan generasi yang terus mengkhawatirkan. Juga tidak meratanya fasilitas Pendidikan menjadikan tidak setiap warga mendapat hak yang sama.
Dan kalau kita perhatikan, apa yang diluncurkan meteri Nadiem masih ranah teknis, tidak menyentuh akar masalah sehingga layak dicermati dari beberapa sisi. Dan apa benar kebijakan ini menyelesaikan problem kesempatan kuliah bagi semua warga? Bahkan efek samping dari semua itu lebih besar lagi, yakni pelajaran pembentukan kepribadian Islam yang kian terpinggirkan, bahkan disamakan dengan pelajaran tsaqofah lain.
Padahal, seharusnya pendidikan agama Islam dan tsaqofah Islam lainnya mendapat perhatian lebih besar karena menunjukkan kematangan dalam berpikir dan bersikap sesuai akidah dan syariat Islam. Ini yang menunjukkan keberhasilan tujuan pendidikan di jenjang menengah. Namun sayang, ini tidak terlalu dipertimbangkan dalam penerimaan mahasiswa.
Adapun penyelenggaraan tes skolastik juga tidak lah mudah. Tes tersebut selama ini dianggap sulit di jenjang SMA/SMK dan kurikulum untuk menghantarkan hal ini pun belum terbentuk dengan baik. Penggunaan tes skolastik memberi kesempatan kepada siswa-siswa berprestasi saja yang lolos.
Di sisi lain, berbagai bimbingan belajar pun akan berusaha menangkap kelemahan tersebut. Keberadaan mereka diburu oleh siswa yang “lemah”, baik untuk meningkatkan kemampuan tes skolastik maupun tes akademik jika tes jenis ini tetap diselenggarakan oleh PTN, melalui jalur mandiri, misalnya. Akibatnya, seleksi melalui jalur tes juga hanya memberi kesempatan mereka yang mampu membayar bimbel untuk memperkaya kemampuan tes, di tengah kelemahan pihak sekolah meningkatkan kemampuan tersebut.
Andaipun kebijakan ini akan memberi kesempatan mereka yang tidak mampu bimbel (terkendala ekonomi) untuk lolos dalam seleksi, lantas bagaimana kelanjutannya? Meskipun kuliah di PTN dianggap lebih murah, tetapi tetap saja mahal. Kendala beban kuliah di PTN ternyata tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan ini, kecuali hanya saat seleksi masuk saja.
Seharusnya negara lebih memikirkan kebijakan ideal agar seluruh warga berkesempatan kuliah dengan murah dan tetap berkualitas. Tidak cukup hanya dengan mengotak-atik seleksi penerimaan di PTN. Apalagi, biaya kuliah di PTN pada umumnya mahal, kecuali yang mendapat beasiswa, tetapi berapa banyak? Belum lagi jika bicara kualitas yang ditopang kurikulumnya. Nyata sekali orientasinya adalah dunia kerja.
Maka, ketika kita berbicara perbaikan Pendidikan, selama masih dalam kerangka kapitalistik, tidak akan menghantarkan pada harapan kita. Masihkah kita berharap pada sistem seperti ini? Wallahu a’lam bi ash showab.