Sistem Perlindungan Sosial, Hanya Mungkin Dalam Sistem Islam





Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Kleuarga

Sejak sebelum pandemi, kehidupan rakyat sungguh teramat sulit. Daya beli menurun, sejalan dengan pengangguran dan angka kemiskinan yang terus meningkat. Adapun perbaikan ekonomi yang dijanjikan oleh mulut manis penguasa, hasilnya juga tidak kunjung tiba. Kalaupun ada, mereka hanya bermain dengan angka-angka yang justru terkesan mengamuflase keadaan sebenarnya.

Kondisi ini diperparah dengan gejolak harga di level internasional, baik akibat perang maupun ketidakpastian produksi akibat isu perubahan iklim. Dampaknya negara-negara besar pun terpacu untuk meningkatkan suku bunga demi mengamankan kondisi ekonomi dalam negerinya. Dengan demikian, posisi dolar akan terus menguat, dan pada saat yang sama akan mengoreksi besaran utang negara-negara lemah.

Tidak heran, utang plus bunga negara kita angkanya makin fantastis saja. Beberapa pejabat pemerintah pun akhirnya kerap mengeluh soal beban APBN yang makin berat hingga berbagai kebijakan berbasis subsidi dan bantuan sosial pun terus dipersoalkan.

Contohnya, kebijakan yang hari ini sedang banyak dibincangkan. Dengan dalih mengurangi tekanan terhadap masyarakat di tengah kenaikan harga dan kemiskinan yang makin menguat dan menyebar, pemerintah mengambil kebijakan mengalihkan dana subsidi BBM sebesar Rp24,17 T untuk bantuan sosial.

Artinya, alih-alih meringankan beban rakyat dengan menambah subsidi dan bantuan sosial, yang dilakukan justru hanya mengulur meledaknya bom waktu, dengan cara menyelesaikan masalah dengan masalah hingga persoalan pun makin parah.

Bayangkan saja, pencabutan subsidi BBM jelas akan membawa efek domino, terutama akibat menguatnya tingkat inflasi yang biasa mengiringi kenaikan harga bahan bakar minyak. Sementara, penambahan dana bansos tidak menjamin akan bisa menutupi semua dampak yang dirasakan oleh masyarakat banyak.

Terlebih, sasaran penerima bansos jumlahnya sangat terbatas. Sementara selama ini proyek bantuan sosial selalu diiringi banyak masalah, seperti pembagian yang tidak tepat sasaran, serta fakta bahwa proyek ini senantiasa menjadi lahan basah bagi para pelaku tindak korupsi.

Sebagai ideologi, Islam menetapkan bahwa kesejahteraan setiap individu rakyat, secara orang per orang, wajib dipenuhi oleh negara atau para penguasanya, karena negara atau kepemimpinan berperan sebagai pengurus dan penjaga. Kelalaian dalam memenuhinya dipandang sebagai sebuah kezaliman yang tak akan bebas dari pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

Penerapan sistem ekonomi Islam oleh negara Islam benar-benar memungkinkan negara punya modal untuk menyejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan hidup bagi mereka secara orang per orang. Karena sistem ekonomi Islam mengatur soal mekanisme kepemilikan, pengelolaan, dan pengembangan kepemilikan, mengatur soal sistem moneter yang antikrisis karena berbasis pada emas dan perak, serta antiriba yang hari ini justru menjadi biang kerusakan.

Dalam sistem Islam, negara benar-benar hadir sebagai pengayom rakyatnya. Bagaikan seorang ayah, negara atau penguasa mengurus dan menjaga seluruh rakyatnya dengan penuh kasih sayang, tanpa berhitung jasa, apalagi keuntungan. Segala bentuk pelanggaran atau kezaliman yang muncul dari kerakusan manusia, tercegah dengan sendirinya melalui penerapan sistem sanksi Islam.

Alhasil, perlindungan sosial yang hari ini menjadi mimpi semua orang benar-benar mampu diwujudkan oleh sistem Islam. Karena kesejahteraan memang merupakan dampak penerapan hukum-hukum Islam, bukan proyek artifisial yang bersifat tambal sulam. Catatan sejarah tentang kesejahteraan hidup di bawah naungan Islam ini benar-benar terserak dalam catatan yang ditulis dengan tinta emas sejarah yang tidak mungkin dihapuskan.
Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak