Oleh Irma Dharmayanti
Pemerintah sudah mengambil kebijakan pahit untuk rakyat. Yaitu menaikkan kembali harga sejumlah BBM, termasuk Pertalite. Padahal belum lama Pemerintah menaikkan harga sejumlah BBM seperti Pertamax, Pertamax Turbo dan Solar Dex. Pemerintah beralasan subsidi BBM sebesar Rp 502 Triliun sudah membebani APBN. Sebagai kompensasinya, Pemerintah akan menyediakan bantalan sosial (bantuan sosial) bagi warga terdampak.
Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani, juga berencana mengubah skema dana pensiun yang dipandang menjadi beban negara. Pemerintah pun sudah bulat mulai tahun depan akan menghapus pegawai non aparatur sipil negara atau non ASN alias honorer. Kebijakan ini bakal dirasakan pahit oleh rakyat. Apalagi sebelumnya Pemerintah juga menaikkan iuran BPJS.
Mengurus negara memang bukan pekerjaan mudah. Namun, menganggap hak rakyat untuk mendapatkan subsidi sebagai beban adalah keterlaluan. Tidak aneh jika rakyat sering mendengar pernyataan politisi dan pejabat negara yang meminta rakyat untuk berjuang sendiri. Ketika harga minyak goreng meroket dan langka di pasaran, rakyat dianjurkan mengurangi memasak dengan cara menggoreng. Ketika harga cabe naik, rakyat diminta untuk berkebun cabe di halaman rumah. Ketika harga beras naik, ada seruan agar rakyat miskin melakukan diet. Jangan banyak makan. Ketika harga telur naik, rakyat diminta juga jangan meributkannya.
Bantuan yang disiapkan Pemerintah ada, namun diberikan secara selektif, bukan untuk seluruh rakyat. Dalam kasus BBM, pencabutan dana subsidi BBM sebesar Rp 502 triliun akan diganti dengan tambahan bantalan sosial menjadi Rp 24,17 triliun untuk 20,65 juta kelompok keluarga penerima manfaat. Pemerintah tutup mata bahwa dampak kenaikan tarif BBM dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Ini bertolak belakang dengan kebijakan Pemerintah terkait urusan pembangunan. Di tengah beragam krisis ekonomi yang menimpa rakyat, rencana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tetap akan dilanjutkan. Padahal pembangunan IKN menelan biaya Rp 486 Triliun. Sebesar 20 persennya diambil dari APBN atau sekitar Rp 97 Triliun.
Ketika negara mengeluhkan beban dana pensiun yang sebenarnya hak para ASN karena potongan gaji semasa bekerja, justru Pemerintah banyak mengangkat tenaga kerja tambahan seperti wakil menteri, staf khusus dan stafsus milenial, serta mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan baru seperti BPIP dan BRIN. Rata-rata mereka digaji hingga puluhan juta rupiah. Pemerintah juga jor-joran memberikan bantuan kepada para pengusaha hingga triliunan rupiah. Pada tahun 2018 para pengusaha sawit besar mendapatkan suntikan dana hingga Rp 7,5 triliun. Pada saat yang sama, para pegawai honorer akan diberhentikan.
Cara pandang rakyat sebagai beban dan negara boleh mengurangi hak-hak rakyat adalah kezaliman. Hal ini kontras dengan ajaran Islam. Islam menekankan bahwa rakyat adalah Amanah, sementara amanah wajib ditunaikan. Penguasa dalam Islam wajib sekuat tenaga memenuhi kebutuhan rakyat dan haram menelantarkan mereka. Penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi menghalangi hak mereka, telah diperingatkan oleh sabda Rasulullah saw.:
"Tidak seorang pun pemimpin yang menutup pintunya untuk orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan dan kemiskinannya." (HR at-Tirmidzi).
Islam juga melarang penguasaan sumber daya alam oleh swasta asing maupun lokal seperti air, migas dan minerba yang menyebabkan rakyat hanya mendapatkan keuntungan sedikit dan harus membayar mahal untuk mendapatkan semua itu.
Pelayanan dan pemenuhan kebutuhan untuk rakyat berlaku sama dan adil. Tidak didasarkan pada perbedaan status ekonomi maupun agama. Dalam Islam semua warga, Muslim atau non-Muslim, miskin atau kaya, berhak mendapatkan pelayanan dan jaminan hidup seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, BBM secara cuma-cuma atau dengan harga ekonomis. Itu karena dalam Islam Negara Islam tidak menempatkan hubungan penguasa dan rakyat seperti pedagang dan pembeli.
Dalam Islam Khalifah dan para pejabat negara membatasi jaminan hidup mereka demi mendahulukan kesejahteraan rakyat. Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. menolak kenaikan tunjangan hidup dari Baitul Mal untuk keluarganya karena malu dan ingin mengikuti kehidupan Rasulullah saw. Sikap ini berasal dari peringatan Nabi saw. kepada para penguasa agar jangan memiliki kehidupan yang lebih mewah dibandingkan rakyatnya. Beliau bersabda:
"Tidak halal Khalifah memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya dan satu piring lagi untuk ia berikan kepada rakyatnya." (HR Ahmad).
Negara Khilafah akan membebaskan warga ahludz-dzimmah (non-Muslim) dari pungutan jizyah jika mereka tidak mampu. Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, semua warga, termasuk orang miskin tetap dikejar-kejar pajak atau terkena sanksi. Bahkan Menteri Keuangan pernah menyindir warga yang tidak mau bayar pajak sebaiknya tidak tinggal di negeri ini. Islam akan memprioritaskan pembangunan yang benar-benar bermanfaat untuk rakyat banyak, bukan proyek mercusuar yang hanya dinikmati segelintir orang. Untuk itu setiap pembangunan harus dikaji mendalam agar bermanfaat bagi umat dan tidak sia-sia. Tidak seperti sekarang. Banyak proyek yang mangkrak. Biayanya membengkak, tetapi minim manfaat untuk rakyat. Apalagi pembangunan itu dibiayai dari utang ribawi.
Persoalan hari ini tidak akan tuntas selama kaum Muslim tidak menerapkan syariah Islam dan memiliki pemimpin yang mengurus mereka dengan adil dan amanah. Sebabnya, hanya dalam Islam kepala negara (Khalifah) diangkat untuk mengurus seluruh rakyat, bukan berpihak kepada oligarki seperti yang terjadi hari ini. Karena itu mari kita kembali pada sistem dan kepemimpinan Islam jika kita mengharapkan kehidupan yang penuh berkah.
Wallahu’alam Bishawab.