Polemik RUU Sisdiknas atas Kesejahteraan Para Pendidik



Oleh: Sri Mariana, S. Pd
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)


Masyarakat masih terguncang dengan kenaikan BBM, pemerintah menambah lagi luka bagi para pendidik bangsa.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengajukan naskah terbaru Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) kepada DPR.

Namun, draf terbaru RUU Sisdiknas tersebut menjadi polemik karena banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Bahkan, sejumlah fraksi di DPR mengaku menolak RUU Sisdiknas masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) perubahan tahun 2022 karena terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversi. Salah satunya mengenai tunjangan guru atau tunjangan profesi guru.

Bahkan, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai, hilangnya pasal yang mengatur tunjangan profesi guru atau TPG di dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah merendahkan martabat guru(beritasatu.com/4/9/22). 

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI, Senin (5/9/2022), Ketua Litbang PB PGRI Sumardiansyah mengatakan, dengan dihapusnya pasal itu maka kesejahteraan guru menjadi standar minimum, bahkan di bawah minimum. Sehingga hal itu dipandang berbeda dengan semangat Merdeka Belajar, Guru Merdeka yang digaungkan Kemenristek Dikti selama ini(tintasiyasi/9/9/22). 

Padahal, guru adalah profesi yang sangat mulia, maka sudah selayaknya guru dihargai jasanya dengan nilai yang tinggi karena ia merupakan garda terdepan dalam mempersiapkan generasi penerus dan pembangun peradaban. 

Sudah seharusnya seorang guru diberikan upah yang besar sehingga bisa fokus mendidik generasi, agar waktu dan pikirannya tidak tersita oleh urusan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar bagi suatu negeri, jika pilar ini rapuh maka generasi yang cerdas dan terdidik pun tidak akan pernah bisa dilahirkan. 

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban negara untuk menghargai jasa seorang guru karena telah mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam mencetak generasi bangsa yang cerdas dan mumpuni. 

Begitulah, ketika negara ini mengambil pijakan bernegara berdasarkan pada pola pikir kapitalistik. Dalam sistem ini tidak pernah menilai suatu jasa atau tenaga berdasarkan besaran jasa dan tenaga tapi berdasarkan untung rugi. 

Dalam pandangan kapitalis tunjangan guru dianggap beban negara karena negara harus menyiapkan sejumlah uang untuk memenuhi itu sedangkan pendapatan negara sebagian besar berasal dari pajak dan utang. 

Apalagi besaran utang Indonesia di akhir Juli ini saja berdasarkan kompas (15/08/2022), sudah di angka Rp 7.123,62 triliun. Maka dengan pola pikir seperti itu menjadi wajar jika negara menganggap tunjangan guru sebagai beban yang harus dihapuskan. 

Tapi tidak demikian halnya dengan Islam. Dalam Islam profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Ia menjadi sosok yang sangat dimuliakan oleh negara. Hal ini tercermin dalam masa pemerintah khalifah Umar bin Khattab ketika menggaji seorang tenaga pengajar. Ketika beliau menjadi khalifah kaum Muslim, beliau sangat antusias terhadap pengembagan sumber daya manusia kala itu.

Beliau bahkan tidak segan-segan memberi hukuman pada mereka yang enggan menuntut ilmu. Di mata beliau menuntut ilmu wajib hukumnya, sehingga siapa pun yang enggan menuntut ilmu maka penjara akan menjadi tempat bagi mereka.

Khalifah Umar bin Khattab juga demi untuk kemajuan pendidikan beliau menggaji para guru saat itu sebesar 15 dinar setiap bulan. Hal ini dikisahkan dalam buku berjudul ‘Fikih Ekonomi Umar Bin Khattab” karangan Dr. Jaribah bin ahmad Al-Haritsi.

Maka, jika menggunakan dinar versi Rasulullah SAW, gaji guru pada masa khalifah Umar Ibn Khattab dengan 15 dinar itu setara dengan 33 juta/bulan. Sebuah angka atau nominal pendapatan guru yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan kehidupan saat ini.

Dengan fakta seperti saat ini, maka tidak heran jika sebagian besar generasi muda kita jauh dari kemuliaan dan kemajuan, mungkin hal ini disebabkan negara tak pernah menghargai jasa para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. 
Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak