Oleh : Ummu Hanif,
Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Gejolak harga-harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga pangan dan BBM direspon penguasa dengan sikap optimis. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa situasi ekonomi negara kita sedang baik-baik saja. Pemerintah bahkan mengklaim, bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik, yakni lebih dari 5%. Laju inflasi pun disebut-sebut terendah dibanding negara-negara lain. Sementara ekspor perdagangan dikatakan dalam kondisi surplus.
Pemerintah juga beranggapan situasi sulit ini masih bisa diatasi dengan banyak opsi. Termasuk dengan memperbesar dana bantuan sosial (bansos), menggelar operasi pasar, merekayasa subsidi, dan sebagainya. Opsi-opsi ini tampaknya masih menjadi jurus andalan, bahkan menjadi kebanggaan, seakan-akan fungsi kepemimpinan sedang dijalankan.
Namun, situasi di lapangan tidak seindah yang dibayangkan. Daya beli masyarakat menurun, sejalan dengan pengangguran dan angka kemiskinan yang terus meningkat. Itu pun diukur dengan standar garis kemiskinan yang sangat minimal.
Kondisi negara pun sesungguhnya sedang tidak baik – baik saja. Gejolak harga di level internasional, baik akibat perang maupun ketidakpastian produksi akibat isu perubahan iklim, nyatanya telah berdampak buruk bagi perekonomian negara pengutang seperti Indonesia. Pasalnya, negara-negara besar pun akan terpacu untuk meningkatkan suku bunga demi mengamankan kondisi ekonomi dalam negerinya. Dengan demikian, posisi dolar akan terus menguat, dan pada saat yang sama akan mengoreksi besaran utang negara-negara lemah.
Tidak heran, utang plus bunga negara kita angkanya makin fantastis saja. Beberapa pejabat pemerintah pun akhirnya kerap mengeluh soal beban APBN yang makin berat hingga berbagai kebijakan berbasis subsidi dan bantuan sosial pun terus dipersoalkan.
Konsep perlindungan sosial, baik yang berbentuk bantuan sosial seperti in-cash transfer (bantuan langsung tunai) dan pelayanan (in-kind transfer), maupun jaminan sosial berbasis asuransi seperti BPJS kesehatan, BPJS tenaga kerja, dan tabungan pensiun misalnya, seakan jadi solusi andalan. Padahal, sejatinya hanya merupakan solusi tambal sulam untuk menutup ketidakmampuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat, orang per orang.
Terlebih pada perlindungan sosial yang berupa jaminan sosial berbasis asuransi sosial. Tampak jelas, konsep ini justru menunjukkan sikap lepas tangan pemerintah dalam kewajiban menjamin hak dasar masyarakat. Rakyat justru didorong, bahkan dipaksa, untuk secara swasembada mendanai kebutuhan yang semestinya secara penuh dipenuhi oleh negara.
Namun, inilah konsekuensi hidup dalam sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Dalam sistem ini, negara memang hanya berperan sebagai regulator, bukan sebagai pengurus dan pengayom rakyatnya. Dengan demikian, tidak ada kewajiban moral bagi negara atau penguasa untuk memastikan setiap warga negara terpenuhi kesejahteraannya. Maka, perlindungan sosial di sistem kapitalis, tak lebih hanya janji manis. Wallahu a’lam bi ash showab