Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Sejumlah narapidana kasus korupsi memperoleh pembebasan bersyarat secara bersamaan pada Selasa (6/9/2022). Beberapa di antaranya bahkan merupakan nama koruptor kakap. Jabatannya tidak main-main, mulai dari mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Mantan Menteri, Mantan Jaksa, Mantan Gubernur, Mantan Dirut BUMN, hingga Mantan Bupati.
Diketahui, sebanyak 23 narapidana korupsi yang bebas bersyarat itu termasuk Ratu Atut Choisiyah, Pinangki Sirna Malasari, Patrialis Akbar, Zumi Zola, Suryadharma Ali, hingga Tubagus Chaeri Wardana. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menjelaskan 23 napi koruptor itu sudah memenuhi persyaratan untuk bebas, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Mualimin menyebut ada potensi pelanggaran HAM apabila pembebasan bersyarat tidak diberikan kepada narapidana yang berhak. Dia mengatakan Kemenkumham tidak boleh mengurangi hak asasi tanpa dasar hukum yang jelas. (www.detiknews.com, 9/9/2022).
Kebijakan ini tentu menimbulkan polemik dan menuai kritik dari banyak kalangan. Salah satunya adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana,
mengusulkan agar para narapidana korupsi yang baru mendapat pembebasan bersyarat untuk datang ke Istana dan Gedung DPR. ICW menilai para koruptor itu harus berterima kasih ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para Anggota DPR. Pasalnya, masih menurut Kurnia, Jokowi dan DPR te;ah mengeluarkan kebijakan yang membuat para narapidana kasus korupsi bisa keluar lebih cepat dari masa hukumannya. Kurnia menilai Jokowi bersama DPR telah mengubah Undang-Undang Pemasyarakatan supaya para koruptor itu dapat bebas lebih cepat.
Berita korupsi dan ketimpangan hukum bagi mereka yang punya akses kekuasaan, sudah bosan didengarkan. Rakyat sudah muak dengan ketidakadilan yang terus dipertontonkan. Terlebih dengan sandiwara yang terus dilakukan oleh penguasa bertopeng. Lihat saja narasi dan pencitraan yang penguasa bangun mengenai perang melawan korupsi. Pemerintah telah menggalakkan program antirasuah di berbagai lembaga pemerintahan. Berbagai poster antigratifikasi begitu mudah masyarakat temukan di berbagai lembaga. Zona berintegritas dan kawasan bebas korupsi menggema nyaris di setiap departemen. Sayang, semua itu hanya sebatas pencitraan yang jauh dari kondisi riilnya.
Sekian banyak instrumen pemberantasan korupsi, mengapa praktik-praktik korup malah subur di negeri ini? Bukankah bendera putih sudah layak berkibar sebagai tanda negeri ini kalah dalam perang melawan korupsi?
Di titik ini, sudah selayaknya pemerintah sebagai pihak yang berwenang mengelola negeri, mau merendahkan hati, menjernihkan pikiran, dan membuka ruang diskusi agar negeri ini terbebas dan tidak terus-terusan dalam kubangan praktik korupsi yang memuakkan. Rakyat pun harus terbuka untuk melihat solusi lain, yang memungkinkan untuk melepaskannya dari kondisi yang menyakitkan.
Dunia bukanlah akhir dari segalanya. Akan ada titik ketika manusia merasa fana dengan semuanya. Oleh karenanya, Islam memberi kita tuntunan agar kekuasaan bisa berbuah pahala dan masyarakatpun tidak dimintai pertanggungjawaban atas diamnya atau bahkan upaya mendukung dan ikut menikmatinya.
Dalam sistem Islam, kesadaran akan hubungannya dengan sang kholik akan senantiasa di bangun dalam jiwa manusia. Sehingga kesadaran akan pentingnya ridha Sang Khalik adalah perkara utama. Kesadaran ini pula yang membuat para pejabat bisa menjaga sikap warak dan menjadikannya sebagai tameng dari segala harta yang bukan haknya.
Kesadaran adanya pengawasan Allah dalam setiap aktivitas manusia membuat para pejabat begitu berhati-hati menjalankan amanah. Kekuasaan bukanlah ladang untuk meraup harta. Sebaliknya, amanah adalah tempat untuk menuai pahala. Ini karena amanah untuk mengurus rakyat dan merealisasikan kemaslahatan bukanlah perkara mudah. Inilah realisasi keimanan, hingga jabatan dapat berbuah surga.
Selain sikap warak, para pejabat dalam sistem Islam juga tidak boleh menerima suap dan hadiah. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa terkait suatu kepentingan yang semestinya tanpa imbalan. Bahkan sekedar hadiah, jika diberikan kepada pejabat adalah larangan yang tidak boleh dilakukan.
Disisi lain, masyarakat yang mulia akan turut mengawasi kinerja para pejabat, mengoreksi, seraya mengingatkan mereka akan pengawasan Allah Yang Maha Mengetahui segala perbuatan manusia
Selain itu, Islam memberikan sejumlah sanksi yang berefek jera sesuai hasil ijtihad Khalifah bagi para pejabat yang menggelapkan harta umat dan negara. Sanksi itu bisa berbentuk publikasi tindak korupsi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati sesuai pertimbangan harta yang dikorupsi.
Dalam melakukan penyelidikan, Khalifah melakukan penghitungan harta para pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada penambahan harta, negara akan melakukan verifikasi untuk mengetahui penambahan harta itu bersifat syar’i atau tidak. Dengan demikian, seluruh elemen negara berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi.
Maka jika kita merasa muak dengan kasus korupsi yang tak kunjung selesai, sudah saatnya kita melirik solusi yang pernah terbukti penerapannya. Islam telah memberi bukti nyata, betapa saat Islam diterapkan dalam bingkai negara, penguasanya amanah, dan rakyatnya hidup Bahagia. Wallahualam