Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial dan Keluarga.
Pertemuan ke-3 Deputi Lingkungan dan Kelompok Kerja Keberlanjutan Iklim atau Environment Deputies Meeting and Climate Sustanability Working Group (3rd G20 EDM-CSWG) , berlangsung di Bali pada tanggal 29-30 Agustus 2022. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara hybrid (luring dan daring) dan dihadiri oleh 211 delegasi dari negara-negara anggota G20, negara undangan dan Organisasi Internasional. Pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian perubahan iklim global. Pertemuan EDM-CSWG dengan Co-Chair Laksmi Dhewanthi (Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim) dan Co-Chair Sigit Reliantoro (Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan).
Pertemuan tingkat kelompok kerja akan dilanjutkan dengan pertemuan tingkat menteri lingkungan hidup dan iklim atau The Joint Environment and Climate Ministers Meeting (JECMM) pada tanggal 31 Agustus 2022 yang diketuai oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya. Co-Chair EDM Sigit Reliantoro menyambut baik partisipasi para delegasi yang sudah menyampaikan masukan untuk rancangan komunike yang sedang disusun. "Selama dua kali pertemuan EDM-CSWG di Yogyakarta dan Jakarta lalu, semua delegasi telah mendiskusikan berbagai isu prioritas untuk mencapai visi dan tujuan yang sama," kata Sigit dalam keterangannya, Rabu (31/8/2022). Adapun pertemuan puncak adalah pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022.
Kalau kita perhatikan secara mendalam, perbincangan, symposium, konferensi, atau apapun Namanya, yang mengusung tema “isu lingkungan” dan “perubahan iklim”, tidaklah menyentuh sampai ke akar masalah. Semua program yang disusun dan disampaikan tak lebih hanya seperti paracetamol. Bersifat sebagai penghilang gejala, bukan mengobati sumber penyakitnya. Karena setiap pembicaraan dalam rangka mencari kesepakatan selalu terganjal dengan ambisi ekonomi dan masalah geopolitik.
Dampak perubahan iklim adalah wujud nyata kerakusan pembangunan ekonomi kapitalis. Aktivitas ekonomi telah mengeksploitasi alam dan memberikan keuntungan kekayaan mengalir ke negara-negara industri utama (negara maju). Sehingga kita lihat, negara-negara maju telah menikmati kekayaan dan berada dalam kesiapan akan dampak perubahan iklim. Mereka mampu membangun infrastruktur yang rusak, dan memberi bantuan kepada rakyatnya. Sementara negara-negara dengan ekonomi rendah justru merasakan kesengsaraan yang dalam. Negara – negara miskin kesulitan membangun kembali infrastruktur dasar dan terbatas dalam memberikan bantuan untuk rakyatnya.
Sama halnya dengan forum iklim G20 di Bali telah gagal mendorong upaya lebih besar untuk menurunkan emisi gas, melebihi target pembicaraan iklim sebelumya. Sebut saja negara industri besar, seperti Cina menyumbang sepertiga emisi karbon global (9,9 miliar metrik ton emisi karbon dioksida) dan enggan untuk meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca.
Sungguh kapitalisme telah mematikan empati dan rasa perikemanusiaan negara-negara pengusungnya. Di tengah penderitaan hebat masyarakat dunia, mereka mati rasa, bahkan tega mendulang keuntungan ekonomi tanpa henti. Membiarkan sebagian penduduk dunia mengalami nasib mengenaskan yang diakibatkan kebijakan pembangunan ala kapitalis dan demi mengamankan kedudukan geopolitiknya.
Wallahu a’lam bi ash showab.