Menyoal Larangan Ekspor Nikel, Indonesia Tak Berdaya Dihadapan Asing?



Oleh :Ummu Faiha Hasna


Indonesia dikabarkan kemungkinan akan kalah dalam sengketa Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) dengan Uni Eropa terkait kebijakan pelarangan kegiatan ekspor bijih nikel (cnbcindonesia.com, Jumat, 09/09/2022).

Prediksi ini membuat kecemasan para pelaku pasar akan kendala pasokan menjadi berkurang karena potensi pembukaan ekspor bijih nikel. Harga nikel dunia pun merosot hingga 1% lebih. Pada Kamis (8/9/2022) pukul 16:00 WIB harga nikel dunia tercatat US$21.330 per ton, turun 1,16% dibandingkan harga penutupan kemarin.

Persengketaan ini berawal dari kebijakan pemerintah pada pada tahun 2019 lalu, pada saat itu pemerintah menerbitkan kebijakan larangan ekspor bijih mentah nikel. Kebijakan tersebut tertuang dalam peraturan menteri ESDM no. 11 tahun 2019. Larangan ekspor bijih mentah nikel mulai berlaku 1 Januari 2022, tujuannya demi meningkatkan industri hilir nikel. 

Kebijakan ini kemudian di protes oleh Uni Eropa pada november 2019. Mereka mengklaim kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan atau General Agreement on Tariffs and Trade/GATT tahun 1994. Selain itu, Uni Eropa menuduh pemerintah Indonesia telah memberikan subsidi yang tidak sesuai kepada industri nikel di dalam negeri (bisnis.tempo.co).

Seandainya persengketaan tersebut dimenangkan oleh pihak Uni Eropa, keran ekspor nikel yang selama ini ditutup oleh Indonesia berpotensi dibuka kembali. Tentu hal ini menjadi masalah yang cukup serius di kemudian hari. Diantaranya pemerintah akan menanggung kompensasi yang jumlahnya tidak sedikit. 

Pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia berpotensi menjadi suram. Dan lebih dari itu, efek yang paling mengerikan adalah liberalisasi SDA nikel akan semakin parah. Sebab, sekalipun pemerintah melarang ekspor bijih mentah nikel dengan alasan meningkatkan industri hilir nikel, nyatanya 50 persen lebih smelter nikel dikuasai oleh investor China. Jika pemerintah kalah dalam gugatan tersebut, bijih nikel Indonesia berpotensi kembali membanjiri pasar nikel dunia. Artinya, produksi nikel di dalam negeri yang sudah dikapitalisasi oleh aseng, harus dikapitalisasi juga oleh asing.

Inilah carut marut pengelolaan SDA jika diatur dalam sistem kapitalisme. Konsep kepemilikan dalam kapitalisme melegalkan kepemilikan umat yaitu SDA dikuasai oleh para pemilik modal. Sehingga SDA yang notabene milik rakyat justru dikuasai oleh swasta maupun negara-negara kapitalis. Sementara negara tidak boleh memiliki kedaulatan untuk mengelola SDA yang dimiliki karena kapitalisme memposisikan negara sebagai regulator yang mudah dikuasai dan dikendalikan oleh para korporat. 

Alhasil, adanya SDA nikel yang jumlahnya sangat melimpah, tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Padahal, barang tambang ini sangat bermanfaat untuk memudahkan kehidupan masyarakat.

International Energy Agency (IEA) menyatakan nikel merupakan bahan baku penting bagi industri baterai kendaraan listrik serta pembangkitan energi geotermal (katadata.co.id). Selain itu nikel juga bermanfaat sebagai campuran bahan baku industri, bahan baku dunia otomotif, membentuk logam baru atau monel bahkan turunan baru nikel dalam bentuk cair, biasa dibuat untuk pengobatan, larutan pembersih, dan yang lainnya. 

Namun, jika pengelolaan SDA masih menggunakan sistem kapitalisme manfaat tersebut tentu tidak akan dirasakan masyarakat. Yang ada kapitalisasi SDA semakin menguat, karenanya umat membutuhkan sistem alternatif shahih untuk mengatur SDA.

Sistem shahih ini tidak lain adalah sistem ekonomi Islam. Pengelolaan SDA dalam sistem ekonomi Islam jauh berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam Islam, SDA adalah harta kepemilikan umum yang haram untuk dikapitalisasi oleh swasta. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam bersabda, " Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api dan harganya adalah haram". (HR. Ibnu Majah).

Syaikh Abdul Qadim Zallum menyebutkan bahwa barang tambang merupakan bagian dari barang milik umum. Begitu pula Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarf al Nawawi dalam kitabnya al Majmu' Syarh al Muhazzab mengatakan " barang - barang tersebut tidak boleh dikhususkan untuk orang - orang tertentu dan dilarang dari kaum muslim karena akan menyulitkan mereka dari menghalangi mereka mendapatkan kebaikan - kebaikan dari yang tampak tersebut. 

Hal ini berdasarkan sikap Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang memberikan barang tambang garam kepada Abyad bin Hammal di Ma'rib Yaman. Lalu dikatakan dari beliau bahwa ia seperti air yang mengalir. Kemudian beliau memerintahkan untuk dikembalikan. Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyamakan garam yang banyak itu seperti saluran - saluran air dan jalan - jalan kaum Muslim.

Hal senada juga dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Maqdisi al Mughni, imam Syafi'i dan para ulama - ulama mazhab ( Hambali) dan Mazhab Syafi'i. Adapun hasil dari sektor pertambangan akan menjadi salah satu pos penerimaan kepemilikan umum. 

Harta - harta tersebut dikelola oleh negara yang kemudian didistribusikan untuk dinikmati hasilnya oleh rakyat. Distribusi ini bisa secara langsung seperti pemberian subsidi energi, listrik, dan sejenisnya. Adapun distribusi secara tidak langsung, diberikan dalam bentuk jaminan mutlak kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Inilah konsep pengelolaan SDA dalam sistem ekonomi Islam yang hanya bisa diterapkan secara praktis oleh Pemerintahan Islam. Wallahu A'lam bi Shawab.

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak