Oleh : Nabila Sinatrya
Tunjangan profesi guru dihapus dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) terbaru. Kepala Litbang Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumardiansyah Perdana Kusuma menyebut penghapusan tunjangan profesi guru sebagai bentuk pelemahan dan pelecehan terhadap harkat dan martabat guru.
Hal ini juga dirasa bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim yang mengatakan bahwa salah satu tujuan dari keberadaan UU Sisdiknas adalah memeastikan guru ASN dan non-ASN mendapat penghasilan yang layak.
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim juga mengatakan bahwa ketentuan pada RUU Sisdiknas berbanding terbalik dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dimana secara jelas disebutkan mengenai tunjangan profesi guru. Padahal pemberian tunjangan profesi guru sebagai salah satu bentuk apresiasi atas profesionalitasnya dalam mencerdaskan anak bangsa.
Besar tunjangan yang diberikan berkisar satu juta sampai lebih dari lima juta tergantung pada golongan dan kelas PNS. Sedangkan untuk guru non-PNS, besaran tunjangan profesinya diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi guru dan dosen PNS (detik.com, 31/08/2022).
Gaji guru dan dosen hari ini masih banyak yang belum memadai bahkan relatif sangat kecil. Tak heran jika rencana kebijakan terbaru mengenai penghapusan tunjangan profesi guru sangat mengusik keadilan para tenaga pengajar. Karena tunjangan profesi guru ini dianggap cukup membantu perekonomian para guru, apalagi ditengah kondisi harga kebutuhan yang melambung tinggi. Belum lagi gaji dari guru dipotong dengan dalih berbagai iuran yang harus dibayar.
APBN yang terus defisit membuat penguasa berupaya untuk memangkas pengeluaran yang dianggap sebagai beban negara. Begitu pula dengan dihapusnya tunjangan profesi guru ini untuk menggurangi anggaran negara atas nama efisiensi. Namun hal ini sangat kontradiktif dengan kebijakan lainnya, seperti proyek IKN yang terus mendapat suntikan dana dari APBN, anggaran untuk penggantian gorden, anggaran pembuatan kalender dengan jumlah yang fantastis. Ironisnya, segala yang berkaitan dengan kepentingan penguasa tidak dianggap sebagai beban negara.
Guru dipandang sebagai buruh yang mengajar dengan upah minimum, efeknya proses belajar mengajar tidak optimal. Karena banyak guru yang tersibukkan dengan kerja sampingan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, nasib anak bangsa jadi taruhannya.
Ini makin menguatkan bobroknya mengadopsi sistem kapitalisme, dimana ikatan antara penguasa dan rakyat seperti ikatan antara penjual dan pembeli. Seolah negara tidak mau rugi untuk memberikan fasilitas terbaik bagi Pendidikan termasuk kesejahteraan para guru.
Hal ini berbeda dengan sistem islam yang disebut khilafah dimana institusi ini sangat memperhatikan Pendidikan generasi termasuk kepada para pengajarnya. Guru dianggap sebagai profesi mulia yang patut diapresiasi tinggi. Salah satu bentuk penghargaan negara terhadap para guru dengan memberikan gaji yang cukup besar.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, upah guru anak-anak sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulannya. Jika dikalkulasikan dengan harga emas hari ini, maka tiap-tiap guru mendapatkan gaji lebih dari 60 juta rupiah. Juga pada masa Khalifah Shalahuddin al-Ayyubi, Syekh Najmuddin al-Khbusyani menjadi guru di Madrasah al-Sahlahiyyah yang setiap bulannya digaji 40 dinar. Pembiayaan gaji guru ini diambilkan dari Baitul Mal dari pos faai’, kharja, dan milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum).
Penerapan Islam sudah membuktikan akan memuliakan harkat dan martabat seorang guru. Islam tidak lagi melihat guru sudah memiliki sertifikat atau belum untuk mendapat kesejahteraan. Sudah seharusnya kita bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan penerapan islam kaffah. Wallahu a'lam bishshawab.