Oleh: Tri S.Si
Lagi-lagi kasus yang berkaitan dengan hijab menjadi sorotan. Kali ini datang dari Sekolah SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY yang salah satu siswinya mengaku dipaksa dalam berhijab oleh beberapa guru BK di sekolah tersebut sampai membuatnya mengurungkan diri dan berimbas pada depresi. Bentuk pemaksaan itu dilakukan ketika saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (detikjateng.com, 29/7/2022).
Hal ini menarik atensi dari berbagai pihak, hingga Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya ikut turun tangan. Didik mengatakan dengan tegas “sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintahan tidak boleh ada pemaksaan, harus mencerminkan kebhinekaan. Memakai jilbab itu atas kesadaran. Jadi, kalau belum secara kemauan memakai jilbab ya tidak boleh dipaksakan karena itu sekolah pemerintah bukan sekolah basis agama.” (kumparanNEWS.com, 31/7/2022).
Dari kejadian ini, Pemerintah DIY mengambil keputusan untuk menonaktifkan sementara ketiga guru dan kepala Sekolah SMAN 1 Banguntapan, Bantul. Hal ini tersebab karena telah melakukan pemaksaan berjilbab kepada siswa baru (JPPN.com, 5/7/2022).
Bukan hanya sekali terjadi di negeri yang menganut paham sekulerisme ini, seperti di SMKN 2 Padang yang kasusnya juga tidak jauh beda yang kemudian setelah kejadian itu, turut disahkannya SKB 3 menteri tentang hijab bukan sebagai atribut wajib akibat dari banyaknya kasus yang mengatasnamakan “paksaan”. Menurut mereka pemaksaan dengan menggunakan hijab kepada siswi muslim atau non-muslim merupakan bentuk kekerasan simbolik yang biasa dilakukan oleh kelompok mayoritas pada kelompok minoritas.
Lalu mengapa hal ini selalu terjadi padahal Muslim terbesar ada di negera kita? Cukup miris ketika melihat kondisi masyarakat yang sudah terjebak dalam jeratan kapitalisme-sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan. Masyarakat akan memandang bila hijab hanya sebagai atribut keagamaan yang akan digunakan ketika sedang melaksanakan ibadah saja. Akibatnya bila ada yang dilatih atau dibiasakan mengenakan hijab mereka anggap sebagai bentuk perundungan dan pemaksaan.
Hal ini terjadi pada generasi muda muslim yang sekulerisme, hedonisme, liberalisme, dan kapitalisme telah bercokol dalam pemikiran generasi mudanya. Alhasil yang seharusnya memahami bahwa menutup aurat itu adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar bahkan tidak harus menunggu ketika siap. Nyatanya mereka selalu salah kaprah, mengira bahwa berhijab harus menunggu baik, sudah hijrah, sudah sholihah, dan sebagainya. Sehingga muncul berbagai opini bila memakai hijab harus berdasar pada kesadaran dan kemauan.
Banyak generasi muda saat ini mengalami quarter life crisis atau krisis identitas, sebab generasi muda saat ini telah dibajak pemikiran dan potensinya dalam sistem kapitalis-sekuler. Generasi muda hanya tahu tentang eksistensi diri untuk sekedar mencari kepuasan materi. Generasi muda dibuat terlena dengan gaya hidup bebas mulai dari fun, food, fashion, dan film. Semua itu dibuat agar generasi muda saat ini tidak kenal dengan agamanya, tidak paham akan identitas keIslamannya dan hanya berfokus sekedar menaikkan eksistensinya.
Alhasil wajar saja bila banyak dari generasi muda tidak mau menutup auratnya, mendapat sedikit tekanan saja mudah frustasi, emosi, bahkan sampai depresi. Jangankan untuk menutup aurat, sebagian besar 65% dari 223 juta masyarakat muslim di Indonesia tidak bisa baca Al-Qur’an. Penyumbangnya pun juga ada pada anak-anak dan para pemuda yang harusnya mampu mengokohkan sebuah peradaban justru meleburkan peran pemuda sebagai tonggak peradaban. Seperti yang dikatakan oleh Syekh Mustafa Ghalayani, seorang pujanggan Mesir beliau berkata “Sungguh di tangan-tangan pemudalah urusan umat dan pada kaki-kaki merekalah terdapat kehidupan umat.”
Bagaimana bisa mewujudkan generasi muda sebagai tonggak peradaban jika untuk sekedar memahami agamanya saja tidak ada. Bagaimana bisa mengharapkan sosok generasi muda yang terdidik memiliki karakter yang kuat jika sistem pendidikannya begitu rapuh dan tidak memiliki tujuan akhir yang jelas. Pemuda memiliki peran besar dalam membangun sebuah peradaban yang kokoh. Tentu untuk menjadikan pemuda sebagai tonggak peradaban dibutuhkan pendidikan. Maka begitu pentingnya pendidikan bagi generasi muda sebab pendidikan adalah pilar peradaban. Karenanya jika ingin melihat masa depan suatu bangsa, maka lihatlah sistem pendidikannya. Terbentuknya generasi yang lupa identitas dan jati dirinya sebagai hamba Allah tentu tidak lepas dari pendidikan yang ada.
Pendidikan sekuler saat ini hanya melihat dari keberhasilan banyaknya prestasi yang didapat dan nilai di atas kertas. Tapi jauh dari pembentukan kepribadian dan akhlak terpuji yang bersyaksiyah Islam. Maka bila berharap dapat melahirkan generasi terbaik pun sangat jauh dari kenyataan. Pendidikan saat ini telah gagal membentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam, yang terjadi justru sebaliknya. Para generasi muda muslim menjadi ragu terhadap agamanya begitupula dengan syariat-Nya.
Padahal pendidikan sebagai pondasi awal untuk dapat membentuk generasi yang menjadi kebanggaan umat. Menjadi pemuda yang tangguh, tidak rapuh, dan tidak mudah terpengaruh serta membentuk kepribadiannya dengan Islam. Sehingga akan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya untuk memperjuangkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyyah sesuai hadist bisyarah Rasul. Layaknya seperti Muhammad Al-Fatih yang sejak kecil di latih dan di didik untuk bisa menaklukkan konstantinopel sesuai bisyarah Rasulullah saw.