Oleh Rifka Nurbaeti, S.Pd.
(Pegiat Literasi)
Perbincangan mengenai apa itu nonbiner kembali mencuat. Hal tersebut bermula usai viral di media sosial video mahasiswa (maba) Unhas dikeluarkan dosen pada Jum'at (19/8/2022). Mulanya, seorang mahasiswa baru yang mengenakan almamater serta kaca mata dipanggil agar maju ke depan. Kemudian, mahasiswa yang diketahui bernama NA tersebut ditanya oleh dosen mengenai status jenis kelaminnya. Secara mengejutkan NA menjawab bahwa statusnya adalah nonbiner (nonbinary). Jawaban NA sontak membuat sang dosen cukup tersulut emosinya. Dosen tersebut kemudian meminta panitia agar mengeluarkan NA dari ruangan. (Suara.com)
Nonbiner merupakan gender yang mendefinisikan dirinya bukan sebagai perempuan maupun laki-laki. Hal tersebut tak jarang membingungkan banyak orang. Biasanya, gender nonbiner ini memposisikan dirinya sendiri berbeda dengan struktur biologis bawaan lahir. Kelompok gender ini biasanya akan memposisikan dirinya bukan dari bagian kelompok gender yang telah ada, atau bahkan mempunyai gender yang lebih dari satu.
Gender nonbiner ini juga memiliki sejumlah istilah lainnya. Adapun istilah-istilah tersebut yakni off the binary, genderfluid, agender, bigender, boi, butch, androgynus, dan gender neutral.
Ketegasan berupa sanksi yang dilakukan oleh dosen UNHAS dan gubernur patut diapresiasi sebagai bentuk penjagaan terhadap keberlangsungan kehidupan generasi bangsa ini. Hal itu juga baik dilakukan supaya tidak diikuti oleh para mahasiswa yang lain. Hanya saja, tidak cukup tindakan tegas itu berhenti sampai di dunia pendidikan saja. Karena ada institusi yang lebih efektif lagi dalam melindungi generasi bangsa ini yakni peran negara.
Sayangnya, negeri ini hidup dalam sistem hidup demokrasi-sekuler-liberal yang mengagungkan kebebasan. Sistem ini telah memberikan jaminan kebebasan dalam setiap perilaku manusia bahkan dianggap sebagai hak asasinya manusia. Diantaranya menentukan jenis kelaminnya bahkan tak berjenis kelamin (nonbiner). Karena dalam sistem demokrasi sekuler Tuhan sebagai pencipta manusia tidak punya hak dalam menentukan jenis kelamin manusia, tubuh manusia adalah milik manusia (My Body, My Choice). Akibatnya, fenomena gender nonbiner muncul dan tumbuh subur dalam sistem hidup seperti itu.
Berkembangnya L967 akan menghancurkan generasi bangsa terutama generasi Islam yang didaulat dalam sebagai agen perubahan bagi peradaban. Dari peradaban yang hancur kepada peradaban yang mulia. Membentuk peradaban mulia akan terwujud jika generasi bangsa ini kembali kepada sistem Islam yakni sistem kehidupan yang berasal dari Allah Swt. sebagai Pencipta manusia dan alam semesta.
Dalam pandangan Islam pengakuan diri bahwasannya dia nonbiner merupakan perilaku menyimpang karena melawan fitrah manusia, hal itu disebabkan Allah Swt. telah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. An-Najm ayat 45 yang artinya: “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita”.
Ayat tersebut memiliki makna bahwa manusia hidup harus sesuai fitrahnya sebagai seorang perempuan atau laki-laki.
Dalam Islam ditegaskan pula bahwa haram hukumnya seorang laki-laki yang berpenampilan menyerupai perempuan dan sebaliknya. Dari Ibnu ‘Abas, Rasulullah saw. bersabda, “Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”. (HR. Bukhari).
Maka dari itu, negara tidak boleh mendukungnya atau netral. Jika ada yang melakukan penyimpangan, maka negara langsung mengambil tindakan. Misalnya para pelaku direhabilitasi dan dijelaskan agar kembali ke kodratnya. Jika ia tetap pada kondisi menyimpangnya, maka negara mengambil tindakan yang berat misalnya dibunuh.
Sebagaimana hadis dari Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth as. maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah). Para pelaku lesbi dan perilaku menyimpang seksual lainnya, jenis sanksinya diserahkan pada Khalifah.
Untuk menjaga masyarakat agar sesuai pada fitrahnya, negara dalam hal ini khalifah harus terjun langsung memastikan seluruh masyarakatnya memperoleh edukasi yang benar tentang Islam dalam memberikan panduan hidupnya mulai dari level individu (laki-laki atau perempuan), level keluarga, sampai lingkungan masyarakat. Karena dalam Islam Khalifah sebagai Raa’in dan Junnah bagi Umat. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Wallahu a’lam bishshawab.