Korupsi, Ibarat Satu Sisi Mata Uang Dalam sistem Demokrasi





Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan sepanjang September 2022, sejumlah 23 napi korupsi telah diberikan pembebasan bersyarat (PB). 23 napi ini adalah napi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Mereka telah dibebaskan pada 6 September 2022. Salah satu diantaranya ialah eks Bupati Bengkalis Amril Mukminin.

Amril resmi menghirup udara bebas setelah menyelesaikan masa hukuman tahanannya di Rutan Sialang Bungkuk Pekanbaru, Rabu 7 September 2022 sekitar pukul 09.00 WIB. Ia memperoleh pembebasan bersyarat setelah menjalani hukuman 2,5 tahun dari empat tahun masa hukumannya. (www.kompas.com, 10/9/2022)

Kebijakan ini memicu protes beberapa kalangan, diantaranya adalah Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman. Dia mengatakan hak asasi warga Indonesia telah tercederai oleh pengkhianatan.

"Perspektif penegakan hukum itu kan selain penegak hukum ada dua sisi, pelaku dan korban. Nah kalau bicara hak asasi pelaku, sekarang bagaimana dengan hak asasi korban? Korban korupsi itu adalah seluruh rakyat Indonesia, yang tercederai karena pengkhianatan, pengkhianatan dari mana? Dari korupsi," ujar Boyamin Saiman kepada wartawan SINDOnews.com, Sabtu (10/9/2022). 

Dia pun meminta agar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk turut mempertimbangkan hak asasi dari para korban. Selain itu, Boyamin juga mengingatkan bahwa korupsi adalah suatu kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.

KPK pun mengkritik perihal ramai-ramai pemberian PB kepada para napi koruptor ini. KPK menyebut, sejatinya korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang juga harus ditangani dengan cara ekstra. 

Menanggapi hal ini, Kepala Bagian Koordinator Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkum HAM RI Rika Aprianti menjelaskan bahwa pemberian PB ini berdasarkan pasal 10 UU 22/2022 tentang Pemasyarakatan. Menurutnya, Napi koruptor yang mendapatkan PB telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali. Ini meliputi remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas pembebasan bersyarat, dan hak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mungkin masyarakat sudah jengah dengan berita korupsi. Sejak runtuhnya kekuasaan Orde Baru, Indonesia telah menggaungkan perang melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemerintah pun menggalakkan program antirasuah di berbagai lembaga pemerintahan. Berbagai poster antigratifikasi begitu mudah masyarakat temukan di berbagai lembaga. Zona berintegritas dan kawasan bebas korupsi menggema nyaris di setiap departemen. Sayang, perang semesta melawan korupsi menemui kebuntuan. Korupsi tetap subur bak jamur pada musim hujan.

Sistem hidup sekuler telah menjauhkan manusia dari kesadarannya akan hubungannya dengan snag pencipta. Mereka lupa bahwa setiap tindakannya senantiasa akan diawasi dan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Kebahagiaan mereka pun, mereka letakkan dalam harta maupun tahta. Padahal kalau kita sadari, seluruhnya adalah tipuan dunia semata. 

Sayangnya, masyarakat sekuler menempatkan kemewahan sebagai prestise. Inilah akar yang menjadikan para pejabat terseret budaya korupsi. Gaya hidup mewah, seakan menjadi kewajiban yang harus direalisasikan apapun caranya, termasuk praktek korupsi.
 
Dalam sistem sekuler yang menafikan pengawasan Allah dalam kehidupan sehari-hari, tidak sulit bagi pejabat mengambil harta yang bukan haknya. Masyarakat sendiri dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan tindak penyelewengan di kalangan pejabat. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas untuk mendapatkan pelayanan cepat dengan iming-iming tertentu. 

Sistem sekuler saat ini sejatinya adalah akar masalah tumbuh suburnya korupsi. Sistem ini telah menjauhkan suasana keimanan dalam menjalankan tampuk pemerintahan. Wallahualam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak