Oleh: Nur Faktul
Naik naik BBM naik, tinggi tinggi sekali, kiri kanan kulihat saja banyak rakyat menangis. Sepenggal aransemen lagu anak anak ini tampaknya cukup mewakili isi hati masyarakat di negeri ini. Baru saja harga minyak goreng beranjak stabil, sudah mendapati harga BBM melambung tinggi. Jika beberapa waktu yang lalu hanya jenis pertamax yang naik, kali ini tak tanggung-tanggung ketiga jenis BBM mengalami kenaikan mulai solar, pertalite, dan pertamax. Sepertinya inilah kado terindah dari pemerintah setelah dua minggu yang lalu rakyat Indonesia merayakan HUT RI dengan meriah. Sungguh menyakitkan sebetulnya, di tengah kesulitan masyarakat mengais rezeki demi sesuap nasi, kini harus menelan kenyataan pahit dari kebijakan pemerintah. Dengan adanya BLT pemerintah berharap mampu mengurangi kesulitan rakyat, namun faktanya hal ini pun seringkali salah sasaran.
Alasan pemerintah terpaksa menaikkan BBM adalah beratnya beban subsidi yang ditanggung APBN yang mencapai Rp502,4 triliun. Bahkan menkeu Sri Mulyani berkelakar APBN akan terbebani subsidi BBM hingga Rp600 triliun jika minyak mentah dunia masih tinggi, (Merdeka 04/09/2022). Berbagai alasan selalu didramatisasi agar kebijakan yang diambil pemerintah bisa diterima oleh masyarakat. Namun faktanya selalu ada cara untuk tidak mengambil kebijakan kenaikan ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ekonom Senior, Rizal Ramli, beliau mengatakan ada cara agar pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM yaitu dengan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. Mantan menteri Ekuin Kwik Kian Gie juga pernah mengatakan tidak paham dengan istilah "subsidi BBM" ini. Menurutnya, sebagai produsen minyak Indonesia tidak perlu memberikan istilah subsidi untuk barang miliknya sendiri. Bahkan, ketika kita menjadi net importir, tetap saja kita punya porsi minyak hasil perut bumi pertiwi. (Warta Ekonom, 06/09/2022).
Berbicara soal subsidi, hal ini tampak berbeda perlakuan antara subsidi BBM dan anggaran lainnya. Pemerintah mengaku terbebani menyubsidi BBM untuk rakyat, namun tidak pernah merasa terbebani membiayai proyek IKN dan kereta cepat yang terus membengkak. Mungkin inilah yang dimaksud Rizal Ramli pengeluaran yang tidak perlu. Mengapa subsidi untuk rakyat selalu dianggap beban, sedangkan anggaran yang tidak urgent dan mendesak justru jadi prioritas pemerintah? Ini mengindikasi bahwa kesejahteraan rakyat bukan lagi prioritas pemerintah. Apa gunanya BLT senilai Rp24,17 triliun jika harga BBM tetap naik? Bukankah efek domino akibat kenaikan ini justru jauh lebih besar dibandingkan bantuan yang diberikan? BLT Rp150ribu/bulan tidak sebanding dengan banyaknya kenaikan harga barang akibat kenaikan BBM di masa mendatang. Sungguh miris, angka kemiskinan di depan mata masyarakat kian meresahkan.
BBM merupakan kebutuhan vital masyarakat. Di dalam Islam keberadaannya termasuk dalam kepemilikan umum yang pengelolaannya ditanggung oleh negara. Dimana negara berperan sebagai pelayan, pengelola dan penjamin kebutuhan dasar rakyat yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Maka dalam hal BBM ini, negara harus mengembalikan status kepemilikan migas menjadi milik umum. Dan hasil dari pengelolaannya wajib dikembalikan kepada rakyat dengan distribusi yang merata dan harga yang murah. Negara tidak boleh menjual kepada rakyat dengan asas mencari keuntungan semata sebagaimana yang terjadi saat ini. Namun sayang, saat ini negeri kita menganut sistem sekuler kapitalisme sehingga solusi islam yang ditawarkan oleh sebagian umat muslim dianggap angin lalu. Bahkan masih banyak pula umat islam yang terbuai dengan bantuan sosial, sehingga menutup mata atas kepiluan dan jeritan rakyat tersebab beratnya beban ekonomi saat ini. Sudah saatnya kita semua berjuang untuk diterapkannya sistem Islam dalam naungan Khilafah, agar kesejahteraan yang didambakan rakyat mampu diraih dengan aturan yang telah Allah siapkan untuk kemaslahatan manusia seluruhnya.
Wallahu a'lam bish shawab.