Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Kabar mengejutkan kembali terdengar. Sebanyak 414 mahasiswa ber-KTP Kota Bandung dinyatakan positif terinfeksi HIV/AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung sendiri mencatat, hingga Desember 2021, ada 12.358 pengidap HIV/AIDS yang melakukan pelayanan kesehatan di Kota Bandung. Dari data keseluruhan, dominasi orang yang terkena HIV/AIDS itu ada pada usia produktif antara 14—27 tahun. (www.detik.com, 3/9/2022)
Data itu diperkuat dengan laporan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). IDAI menyampaikan laporan bahwa sebanyak 1.188 anak Indonesia positif HIV di 2022. Data diperoleh selama periode Januari-Juni 2022. (www.republika.co.id, 3/9/2022)
Dari laporan IDAI tersebut, kelompok usia 15-19 tahun yang dikategorikan sebagai remaja menjadi kelompok paling banyak terinfeksi HIV. Sebanyak 741 remaja atau 3,3 persen terinfeksi HIV.
Lalu, bayi berusia di bawah 4 tahun pun kasusnya banyak. Sebanyak 274 kasus HIV ditemukan pada kelompok umur tersebut. Selanjutnya, untuk kelompok usia 5-14 tahun ditemukan 173 kasus HIV.
Sebelumnya, Ketua Satgas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Endah Citraresmi mengungkapkan lebih dari 90 persen kasus HIV-AIDS pada anak disebabkan oleh penularan vertikal dari ibu. Selain penularan dari ibu ke anak, sambung Endah, penularan HIV pada remaja juga menjadi perhatian khusus, karena cara penularannya sangat memprihatinkan. Mayoritas, penularan HIV pada remaja bisa disebabkan oleh penggunaan narkoba suntik dan seks bebas, terutama dengan sesama jenis.
Remaja dengan HIV/AIDS akibat pergaulan bebas hanya segores noda hitam kegagalan sistem pendidikan sekuler dalam mencetak kepribadian unggul generasi. Kepribadian yang rapuh dan tidak mampu dalam memecahkan masalah membuat tidak sedikit remaja berakhir dengan percobaan bunuh diri.
Karakter dasar kapitalisme adalah rusak dan merusak. Daya rusak kapitalisme sekuler bersifat massal, bukan saja membunuh generasi dalam arti fisik, tetapi juga membunuh masa depan generasi.
Sistem ini telah menjungkirbalikkan struktur bentukan manusia dan memorak-porandakan struktur sosial masyarakat. Pemahaman liberal dan HAM yang lahir dari sekularisme telah merusak pola pikir dan pola sikap yang membentuk kepribadian remaja ini. Sekularisme kapitalisme hanya mengenalkan konsep bahwa kebahagiaan hidup adalah tercapainya kepuasan bersifat materi.
Walhasil, generasi hanya mengejar kepuasan biologis dan meraih nilai materi (finansial) dalam hidup. Generasi tidak mengenal nilai maknawi tentang kehormatan dan kemuliaan seorang perempuan. Generasi juga gagal paham tentang nilai ruhiah bahwa ada perhitungan dosa dan pahala saat Hari Akhir kelak.
Perkembangan teknologi menjadikan manusia bagaikan robot bagi industri dan digitalisasi. Manusia tidak lagi mengendalikan teknologi, tetapi sebaliknya, teknologi seakaan mengendalikan pikiran, perasaan, dan rasionalitas manusia. Gerakan sosial dan politik sekaligus dikendalikan oleh algoritma yang bermuara pada kepentingan bisnis korporasi. Platform digital seperti Twitter, Facebook, YouTube, dsb. menggantikan negara menjadi hakim atas berbagai interaksi manusia.
Edukasi masyarakat yang menyatakan bahwa homoseksual, lesbi, transgender, ataupun zina sebagai perbuatan keji, selalu “disetrap” oleh Facebook, misalnya dengan dakwaan melanggar standar komunitas. Sementara itu, jutaan gambar dan video bernuansa seksual dan pornografi justru membanjiri media secara bebas, melintas berbentuk iklan. Ironisnya, negara tidak mampu berkutik berhadapan dengan korporasi global maupun oligarki lokal.
Akhirnya, pergaulan bebas dan penyimpangan orientasi seksual—sebagai faktor paling berisiko penularan HIV/AIDS—dengan mudah menyusup ke dalam benak generasi, diposisikan sebagai hal wajar dan benar.
Kemaksiatan mendapatkan full support dari suprasistem global, yakni sistem ekonomi kapitalisme neoliberal dan sistem politik demokrasi sekuler. Sebut saja, polemik RUU Minuman Beralkohol, RUU TP-KS, dan RUU Sisdiknas yang membahayakan masa depan generasi, dapat dipastikan akhirnya disahkan oleh para legislator Senayan. Sebaliknya, suara rakyat pada berbagai aksi jalanan pasti diabaikan jika tidak sejalan dengan kepentingan pemilik modal. Dengan demikian, mempertahankan sistem kapitalisme demokrasi hanya akan memperparah kehancuran generasi masa depan. Wallahu a’lam bi ash showab