Oleh :Messy Ikhsan
Sungguh sayang seribu sayang, pilihan hidup yang sangat disayangkan. Sedih sekaligus miris melihat para pengemban dakwah yang memilih mundur dari arena perjuangan. Padahal kemenangan Islam belum dalam genggaman. Peradaban gemilang Islam yang kedua belum diterapkan dalam kehidupan. Tapi, banyak pejuangnya sudah mulai menyerah dan mengatakan kalah pada tantangan. Bahkan banyak yang tertipu dengan hawa nafsu dunia yang melenakan.
Demi mendekap jabatan dan kekuasaan, harga diri dan prinsip ideologi diabaikan. Malah keinginan-keinginan setan yang dipuja dan dituhankan. Ilmu dan hukum syariat yang sudah ditimba dari kajian. Hilang dibawa oleh angin dan lenyap ditelan oleh awan. Tak ada yang tersisa dipemikiran. Saat pemahaman Islam tak dijadikan landasan perbuatan. Maka, virus sekularisme yang diprioritaskan.
Seolah-olah ilmu yang dipelajari selama di kajian hanya pemikiran partai, bukan perintah Allah. Lalu ketika memilih hengkang dari harakah. Semuanya ditinggalkan tanpa celah. Seolah-olah pemikiran partai bukan berasal dari hukum syariah. Astaghfirullah, ada apa ini wahai diri yang lemah dan penuh khilaf?
Saat berada dalam jemaah, sungguh sangat alim dan taat dalam beragama. Tapi saat sedang sendiri, Allah tak lagi disapa. Taat hanya demi tuntutan partai, bukan kesadaran diri untuk terikat dengan syara'. Taat hanya untuk mendekap pujian manusia, bukan mendekap pujian Tuhan yang sudah menciptakan dunia. Astaghfirullah, wahai diri dosa apa lagi ini?
Padahal sebagai muslim sejati, taat pada Allah wajib dalam segala situasi. Baik dalam keadaan terang-terangan maupun sembunyi dan baik dalam keadaan bersama maupun sendiri.