Oleh : Afrin Azizah
Setelah sebelumnya pada tanggal 01 September
2022 masyarakat Indonesia di prank akan kabar kenaikan harga BBM. Tepat pada
tanggal 03 September, pemerintah resmi menaikkan harga
Tidak tanggung-tanggung bahwa harga BBM naik
hingga 20% lebih dari harga normal.
“ Saat ini pemerintah membuat keputusan dalam
situasi yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah yaitu mengalihkan
subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM akan mengalami penyesuaian,” ujar
Presiden Jokowi dalam jumpa pers di Istana Merdeka, Sabtu ( www.nasional.kompas.com
03/09/2022 )
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
mengatakan, anggaran subsidi dan kompensasi energi akan kembali membengkak
sebesar Rp 198 triliun, jika tidak ada kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar.
Namun tidak dapat dipungkiri, jika kenaikan
BBM juga menjadi beban baru bagi masyarakat.
Biaya yang harus di keluarkan jauh lebih besar dari pada sebelumnya.
Seperti contoh dalam bidang industri dan perdagangan, BBM sebagai sumber energi
transportasi yang menghubungkan dari daerah satu ke daerah yang lain terpaksa
mengeluarkan biaya lebih besar. Sehingga barang-barang yang dipasaran pun otomatis
mengalami kenaikan harga.
Sudah menjadi hal umum, jika BBM menjadi
salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat. Akan tetapi, kenapa
pemerintah merasa terbebani untuk menyubsidi BBM untuk rakyat?
Jika dibandingkan dengan biaya pembangunan
IKN, sampai ditargetkan memiliki anggaran sebesar Rp 466 triliun. Dan dari
jumlah tersebut, APBN menanggung sekitar 20% atau Rp 89,4 triliun. Belum
selesai dengan pembangunan IKN, ada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung,
kenaikan anggaran Mahkamah Konstitusi yang memiliki Anggaran tidak sedikit.
Bagaimana rakyat tidak terluka, jika
pemerintah belum bisa memprioritaskan mana kebutuhan rakyat yang mendesak dan
mana yang tidak.
Bantuan Langsung Tunai ( BLT ) Rp
150.000/bulan apakah cukup untuk menutupi kenaikan harga BBM dan lainnya?
Sangat mustahil jika pemerintah saat ini yang
masih menerapkan sistem kapitalisme liberal mengerti akan kebutuhan rakyatnya.
Karena letak sistem itulah yang mengakibatkan rakyat menjadi menderita, mulai
dari Sumber Daya Alam yang menjadi hak milik rakyat dialihkan menjadi hak
perorangan ( swasta ) sehingga manfaatnya tidak sampai ditangan masyarakat
secara menyeluruh.
Berbeda jika aturan Islam yang dijadikan
poros dalam berpolitik. Islam memandang rakyat adalah pihak yang wajib dilayani
dan dipenuhi kebutuhannya. Bukan kebutuhan pemerintah atau pemilik kuasa, akan
tetapi kebutuhan rakyat yang paling utama.
Penguasa dalam Islam bukan lah kekuasaan yang
bisa di salah gunakan. Penguasa dalam Islam bertindak sebagai pelayan yang
melayani rakyat, baik itu dalam hal kebutuhan dasar rakyat berupa sandang,
pangan, papan, pendidikan, kesehatan maupun keamanan semua akan dijamin dalam
negara yang menjadikan Islam sebagai porosnya.
Allah ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah
kalian mengkhianati Allah dan Rosul, dan (juga) janganlah kalian mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian sedang kalian mengetahui.” (QS.
Al-Anfal: 27)
Seperti pada saat kepemimpinan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz, dimana rakyat dimasa itu memiliki taraf hidup yang berkecukupan
sehingga tidak ditemukan seorang pun yang berhak menerima zakat.
“ Wahai manusia! Adakah diantara kalian
orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin menikah? Kemanakah anak-anak
yatim? “ Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Dalam pemenuhannya pun tidak hanya bagi orang
muslim, non muslim pun juga akan dijamin memiliki hak yang sama dengan kaum
muslim. Demikianlah jika aturan Islam yang dijadikan sebagai poros dalam
kehidupan, dimana aturan yang datang dari Sang Pencipta yang mengetahui apa-apa
yang dibutuhkan ciptaan-Nya.
Wallahua’lam bhilshawwab..