WNI Teraniaya Tanpa Perlindungan, Demi Mencari Penghidupan




Oleh: Tri S, S.Si

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan membenarkan adanya laporan terkait penyekapan warga negara Indonesia (WNI) di Kamboja. Menurutnya, sebanyak 55 WNI telah dibebaskan dari penyekapan tersebut oleh kepolisian Kamboja. "Update penyekapan WNI di Kamboja. Saat ini, sebanyak 55 WNI sudah dibebaskan," ujar Brigjen Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (30/7/2022). Brigjen Ramadhan menjelaskan WNI yang telah bebas kini tengah diperiksa di kepolisian Sihanoukville, Kamboja. Adapun 55 WNI itu terdiri dari 47 pria dan delapan wanita. Meski demikian, belum ada kabar terkait kondisi para WNI yang telah disekap tersebut (tvonenews.com, 31 Juli 2022).


Kasus penyekapan 60 WNI di kamboja mengindikasikan masih sangat besarnya dorongan mencari kerja di luar negeri meskipun  risiko keselamatan dan nyawa mengancam. Perlindungan total  Hanya bisa dilakukan pemerintah bila di dalam negeri tersedia cukup lapangan kerja, kemudahan memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat sehingga tidak perlu terpaksa mencari kerja di luar negeri. 


Aliran buruh migran keluar negeri secara masif terjadi karena sulitnya ekonomi di Indonesia. Para WNII ini menyumbangkan devisa besar bagi Indonesia. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), nilai remitansi sepanjang tahun 2017 mencapai $8,78 miliar atau setara dengan Rp118,83 triliun. Sayang, para pahlawan devisa ini tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya. Berbagai kasus menimpa para buruh migran. 


Ada peribahasa "Hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang". Namun, karena hujan batu di negeri sendiri tak kunjung usai, maka para WNI pun berharap hujan emas di negeri orang. Meski harus bertaruh nyawa, mereka terpaksa bekerja di luar negeri karena desakan ekonomi. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di Indonesia telah gagal menyejahterakan rakyat. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh kalangan pemodal besar. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin sengsara.


Setiap bulan dana remitansi para WNI ditunggu-tunggu oleh keluarganya di kampung. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen rumah tangga pekerja migran menyebutkan “kebutuhan sehari-hari” sebagai salah satu dari tiga penggunaan utama remitansi sehingga meringankan beban keuangan rumah tangga terutama untuk keluarga miskin.


Kiriman dari WNI seolah menjadi penyelamat ekonomi keluarga agar tidak jatuh ke jurang kemiskinan. Sementara lapangan pekerjaan di dalam negeri sudah tak bisa diharapkan lagi. Sudahlah susah dicari, gajinya juga minim. Data Bank Dunia menyebut, pekerja migran Indonesia biasanya memperoleh penghasilan 6 kali lebih tinggi di luar negeri.


Meski deretan panjang kasus menyertai pengiriman buruh migran, namun pemerintah tetap melakukan penempatan WNI keluar negeri. Bahkan para WNI ditahbiskan sebagai pahlawan devisa. Data dari badan Pusat Statistik (BPS)  dan Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa WNI berada di urutan keenam penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Sungguh disayangkan, negara membanggakan besarnya devisa yang didapat dari hasil peluh keringat, darah dan airmata para pekerja migran. Para WNI seolah hanya dipandang sebagai faktor produksi yang dieksploitasi demi pundi-pundi ekonomi.


Migrasi tenaga kerja ke luar negeri terjadi bukan semata karena godaan dolar di luar negeri. Namun lebih karena persoalan ekonomi yang membelit di dalam negeri. Jika sebuah negara makmur, rakyatnya tak akan merasa perlu untuk bekerja di luar negeri. Kalaupun ada yang kerja di luar negeri, jumlahnya tidak masif. Penempatannya juga terkonsentrasi pada pekerjaan profesional yang bergaji besar. Selama pemerintah belum mampu menyejahterakan rakyat, selama itu pula akan terjadi aliran buruh migran. Lengkap dengan sederet persoalan yang mereka hadapi.


Maka solusi bagi masalah WNI bukan sekadar memberi keterampilan teknis, atau pendampingan hukum. Namun mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di dalam negeri. Islam mengajarkan bahwa manusia akan tenang ketika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, :
"Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Tirmidzi; dinilai hasan oleh Al-Albani)


Kebutuhan dasar bisa dibedakan menjadi dua macam yakni yang bersifat kolektif dan individual. Kebutuhan dasar kolektif meliputi pendidikan, kesehatan dan keamanan. Negara wajib secara optimal menyediakan kebutuhan dasar kolektif secara gratis atau terjangkau oleh semua rakyat. Dananya diambil dari baitul maal (kas negara) dari pengelolaan kekayaan negara yang berdasar konsep ekonomi Islam. Rasulullah SAW telah menyediakan dokter dan guru bagi kaum muslim di Madinah secara gratis.


Kebutuhan dasar individual meliputi sandang, pangan dan papan. Individu laki-laki baligh wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar ini bagi keluarganya. Negara bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan bagi para laki-laki dewasa. Baik berupa pemberian modal, pengetahuan, keterampilan, maupun pekerjaan. Rasulullah SAW pernah memberikan kapak pada seorang pengemis sebagai modal kerja, sehingga dia bisa bekerja sebagai pencari kayu.


Perempuan tidak wajib bekerja, justru wajib dinafkahi oleh suami atau walinya. Jika ada rakyat yang lemah (tak mampu bekerja) maka kebutuhan dasar individualnya ditanggung negara. Negara memberikan santunan rutin yang dananya bisa diambilkan dari pos zakat atau pos lain di baitul maal. Khalifah Umar bin Khaththab telah memberikan santunan bagi seorang janda untuk biaya hidup dirinya dan anak-anaknya.


Jika pun ada rakyat yang bekerja di luar negeri, hal ini dibolehkan. Namun negara harus memberi perlindungan hukum sebaik mungkin sehingga terjamin keamanannya di luar negeri. Negara harus membangun kekuatan internasional sehingga disegani oleh negara lain. Warga negara di luar negeri tak akan diperlakukan buruk karena ketegasan sikap pemerintahnya. Bagi rakyat yang ingin berkarir di luar negeri maka pilihan tersebut harus diiringi tiadanya madharat  dan pemberian jaminan perlindungan oleh negara. 



Demikianlah sistem Islam memposisikan penguasa sebagai raa'in (pengurus)  dan mas'ul (penanggungjawab) bagi urusan rakyatnya. Setiap rakyat akan merasa diurusi dan dilindungi. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tak akan ada lagi kabar pilu dari para WNI. Berganti senyum bahagia rakyat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak