Waspada Islamofobia; Kasus Penganiayaan Santri Tangerang



Oleh : Tri Silvia
 (Pemerhati Masyarakat) 


Ahad (7/8), seorang santri di Tangerang dinyatakan meninggal akibat perkelahian dengan sesama santri ponpes. BD (15) tewas ditangan teman pondoknya sendiri yang berinisial RE (15). Berawal dari perseteruan di toilet, keduanya terlibat perkelahian yang berlanjut hingga ke hari setelahnya. 

Diceritakan dalam kronologi kejadian pada hari-H bahwa pelaku (RE) menendang kepala korban sebanyak dua kali. Akibatnya beberapa jam setelah kejadian tersebut korban tak sadarkan diri dan dinyatakan meninggal dunia setelah dilarikan ke rumah sakit. (CNN Indonesia, 9/8/2022) 

Setelah mencuat ke permukaan, berita inipun menjadi viral. Diangkat oleh berbagai media, baik lokal maupun nasional. Ada apa sebenarnya dibalik keviralan berita tersebut? Apakah hanya sekedar kepentingan pemberitaan, atau ada hal lain yang lebih diinginkan dari viralnya berita tersebut? 

Beragam informasi memenuhi media-media kita hari ini, baik di media sosial ataupun media pemberitaan (baik cetak atau elektronik). Isinya pun berwarna-warni, sesuai dengan pesanan dan kepentingan pihak-pihak terkait. Oleh karena itu, kita pun sebagai pembaca dituntut untuk melihat secara jeli objektivitas dari sebuah berita, dan memisahkannya dengan berbagai kepentingan yang mengikuti. 

Jangan sampai, kita terbawa arus opini yang diinginkan oleh pemegang kepentingan, tanpa tahu konsekuensi yang akan kita hadapi setelahnya. Berita yang memberitakan tentang perkelahian santri di atas, mengingatkan saya pribadi dengan kasus pelecehan seksual di ponpes yang sempat viral sampai beberapa kali.

Yang terakhir kasus pelecehan dengan pelaku GB, anak Kiai salah satu Ponpes besar di Jombang, Jawa Timur. Adapun sebelumnya, para netizen pun berhasil dibuat murka dengan perilaku HW, seorang guru pesantren di Bandung yang telah memperkosa belasan santri, hingga ada yang melahirkan dua kali. Tak ada yang aneh dengan beritanya, namun menjadi masalah jika dilihat sudut pandang penyajian nya.

Penekanan dua berita tersebut terkesan menyudutkan lembaga pesantren, yang mana mempresentasikan Islam dalam bentuk lembaga pendidikan. Dan hal tersebut memberi efek yang cukup tegas dalam memunculkan islamofobia di tengah masyarakat. Bisa kita lihat efek setelahnya, banyak orang tua yang benci dan menolak untuk memasukkan anak-anak mereka ke pesantren ataupun sekolah yang berbasis Islam. Seakan-akan semua lembaga pendidikan tersebut tidak bisa dipercaya, dan tercap negatif.

Serupa dengan pemberitaan kasus perkelahian yang dibahas sebelumnya. Kasus ini terjadi di dalam pesantren, yang merepresentasikan Islam dari sisi lembaga pendidikan. Alhasil, kasus inipun dibuat viral dengan opini yang seolah-olah menyasar Islam. Opini yang membuat sentimen islamofobia semakin menjalar. 

Opini-opini semacam ini jelas adalah opini yang menyesatkan. Pasalnya saat ini, kasus kekerasan, baik fisik ataupun seksual bisa terjadi dimana saja dan bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya di tempat yang sepi namun juga bisa terjadi secara terang-terangan di tempat terbuka, seperti fasilitas umum atau di pinggir jalan sekalipun. Jadi jangan kemudian satu kasus tersebut digeneralisasi dan menjadi klaim umum bahwa kasus kekerasan fisik ataupun seksual terjadi di semua lembaga Pesantren. 

Akan jadi kesalahan fatal jika kita menuruti arus opini tersebut dan menjadikannya fakta di benak kita. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kasus-kasus kekerasan tersebut bisa terjadi dimana saja dan menimpa siapa saja. Tentunya kita masih ingat kehebohan yang ditimbulkan dari kasus pelecehan seksual salah satu sekolah internasional di Jakarta ataupun kasus perundungan yang menimpa anak SD di Tasikmalaya. Dan banyak kasus-kasus lainnya yang terjadi di luar lembaga pesantren.

Sungguh, sebuah kasus perundungan atau kekerasan seksual tidak akan bisa selesai hanya dengan mengklaim ataupun mengeneralisir sebuah kasus tertentu. Perlu ada penyelesaian yang komprehensif dan berdasar pada akar masalah untuk bisa menyelesaikannya. Sebagaimana dalam kasus ini, penganiayaan atas BD oleh RE tak ada kaitannya dengan lembaga Pesantren.

Reflek kekerasan semacam itu bisa timbul pada diri anak akibat lingkungan ataupun tontonan yang dikonsumsi anak sehari-hari. Apalagi di zaman serba liberal saat ini, tak ada filter pasti terkait tontonan anak-anak, baik di media mainstream seperti televisi ataupun media digital yang tersebar luas di jejaring internet.

Jadi, waspadailah gerakan massif islamofobia. Termasuk di kasus kekerasan yang terjadi di Pesantren Tangerang beberapa waktu yang lalu. Jangan sampai kita terbawa opininya dan lantas membenci serta menjauhkan anak dari lembaga keislaman semacam Pesantren dan lain-lain. Justru sebaliknya, anak-anak amat penting sekali untuk dikenalkan dengan Islam lebih jauh melalui pengajaran komprehensif seperti yang dilakukan di pesantren.

Anak-anak pun perlu didekatkan dengan nuansa keislaman yang akan lebih kentara ketika mereka berada di lingkungan pesantren. Meskipun tetap, kita harus menanamkan pengajaran terkait pembelaan diri dan dasar tata pergaulan kepada mereka. Karena bagaimana pun selama kita masih hidup di sistem kapitalis liberal saat ini, maka ancaman atas keselamatan jiwa dan kehormatan akan terus ada. Sebab, hanya Islam lah yang mampu memupuskan semua hal tersebut dan membawa kedamaian bagi seluruh alam. 

Wallahu A'lam bis Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak