Oleh: Yeni Marpurwaningsih, S.Hum. (Pegiat Literasi)
Baru-baru ini kita mendengar berita bahwa ada anak remaja bunuh diri karena depresi. Depresinya disebabkan oleh jeleknya nilai akademik. Tertekan karena biaya kuliah dibiayai paman, ia memilih mengakhiri hidupnya. (www.tangerangnews.com, 06/08/2022)
Generasi muda saat ini begitu rapuh. Saat menghadapi suatu masalah, seakan dunia hancur, hidup pun mereka hancurkan. Tidak sedikit kasus bunuh diri usia remaja yang kita baca beritanya. Masih ingat dengan kasus bunuh diri Novia Widya Sari? Gadis remaja yang bunuh diri di dekat makam ayahnya. Keputusannya bunuh diri karena persoalannya yang sudah hamil 2 kali namun sang pacar enggan bertanggungjawab.
Ada pula seorang gadis yang meninggal karena bernazar, bila tak lolos PTN ia akan bunuh diri. (www.suara.com, 13/07/2022). Bahkan, menurut Badan Litbangkes tahun 2016, setiap hari ada sekitar 15 orang bunuh diri. 47,7 persennya usia 10-39 tahun. (www.viva.co.id, 11/08/2022)
Subhanallah, betapa banyaknya jumlah usia muda melakukan tindakan bunuh diri. Padahal, negeri ini adalah negeri mayoritas Muslim. Hal ini, menunjukkan ada yang salah dengan penerapan kehidupan kita.
Sekularisme Biang Kerapuhan
Tahukah saudaraku, negeri kita yang mayoritasnya beragama Islam, ternyata memiliki masalah kerapuhan mental di semua usia.
Mari berkaca ke diri sendiri, betapa mudahnya kita berputus asa dengan kondisi yang kita hadapi. Stres melanda, bahkan tren healing di tengah-tengah masyarakat jadi hal yang harus dilakukan bila tekanan hidup begitu berat terasa. Hal ini menunjukkan rapuhnya kita saat sengsara datang menyiksa.
Tak terkecuali anak-anak, mereka pun ikut merasakan betapa tertekannya mereka jalani hidup. Sudahlah di rumah tidak ada peran ayah dan ibu karena minimnya ilmu mendidik anak, ditambah himpitan ekonomi yang membuat lelah seharian untuk penuhi kebutuhan yang melambung tinggi nan memusingkan.
Wajarlah bila sekali terbanting, bila rasakan sakit di hati, ia mudah berputus asa dan mengambil jalan pintas atasi gundahnya hati dengan bunuh diri. Padahal, mungkinkah penderitaan itu berakhir? Nyatanya, ada pertanggungjawaban di akhirat menanti. Betapa sengsaranya, bila anak-anak muda dengan mudahnya akhiri hidup, padahal dihadapannya kelak ada Allah Swt yang akan menanyai kehidupan yang mereka jalani.
Biang dari semua ini adalah sekularisme. Sekularisme adalah suatu paham yang memisahkan kehidupan dengan agama. Ajaran agama tidak boleh dijadikan sandaran untuk mengatur kehidupan. Sebagai contoh, bila miras itu haram dalam agama Islam, maka apakah sistem ini pun mengharamkannya?
Buktinya, miras masih beredar bsik legal maupun ilegal. Hal ini karena memang landasannya bukan halal-haram. Tapi, aturan negeri ini dibuat berdasarkan dari keputusan suara terbanyak. Bila begitu, apakah Alquran dan Sunah dijadikan sandaran untuk mengatur kehidupan? Tidak, karena seperti itulah landasan sekularisme. Agama tidak boleh ikut campur dalam mengatur kehidupan.
Kita dan generasi kita pun saat bersekolah, kurikulum pendidikannya tidaklah menggunakan Islam sebagai sandaran untuk membentuk karakter dan kepribadian. Maka wajar saja, bila generasi muda saat ini bagaikan stroberi. Begitu memikatnya bila dilihat, namun bila jatuh ia hancur.
Sungguh miris, melihat kondisi remaja saat ini. Memilih mengakhiri hidup, karena tak kuasa menahan pedihnya rasa sakit karena perkara yang masih memungkinkan untuk diatasi. Bila begini, mentalnyalah yang harus kuat. Mental akan kuat bila kuat keyakinannya pada Allah Swt.
Islam Kuatkan Generasi
Generasi adalah penerus kepemimpinan bangsa. Bila generasi rusak, maka rusaklah bangsa. Bila generasi kuat, maka kuatlah bangsa.
Jika sekularisme telah gagal dalam menyiapkan generasi kuat, maka sudah saatnya kita ganti dengan aturan Islam. Dalam Islam persoalan bunuh diri telah tegas dilarang. (Lihat QS. An-Nisa: 29). Mengapa kita abaikan ayat ini untuk ditanamkan ke dada anak-anak kita? Mengapa kita tinggalkan Alquran, bila semua aturan kehidupan tercantum di dalamnya?
Di masa kepemimpinan Islam pun, telah tertulis dalam tinta emas, betapa banyak ilmuwan yang berperan penting dalam kemajuan peradaban manusia. Mengapa kita luput pada sejarahnya? Padahal, banyak teladan yang bisa diajarkan ke generasi. Saudaraku, janganlah kita mengacu pada ilmuwan beragama lain apalagi yang tak percaya Tuhan, tentu anak-anak kita akan seperti mereka, menganggap tidak ada peran Allah Swt di kehidupan ini.
Sudah saatnya, kita yang yakin Allah sebagai al-Khaliq (Maha Menciptakan) dan al-Mudabbir (Maha Mengatur) mengembalikan peran Allah Swt di kehidupan ini. Janganlah kita sombong menganggap mengerti segalanya, padahal yang kita tahu hanyalah setetes dari luasnya lautan ilmunya Allah Swt.
Terapkanlah aturan Allah Swt dalam kepemimpinan Islam (Khilafah). Niscaya, generasi muda kita akan kuat kepribadiannya. Sehingga apapun masalahnya, ia yakin punya Allah Swt Yang Maha Kuat. Maka ia pun akan kuat.
Wallahu a'lam bish-Shawwab
Tags
Opini