Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Ironis, bukan kali ini saja terjadi. Lagi-lagi tentang jilbab. Beberapa waktu lalu viral pemberitaan dugaan pemaksaan seragam jilbab di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY. Hal tersebut juga ditanggapi oleh Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. yang menegaskan bahwa mewajibkan siswi Muslimah menutup aurat telah sesuai UUD 1945 dan UU Sisdiknas.
"Perlu ditegaskan bahwa mewajibkan siswi Muslimah menutup aurat itu telah sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas," ulasnya dalam Perspektif PKAD: Gorengan Dugaan Paksa Jilbab, Islamofobia Merebak? di YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Selasa (09/08/2022).
Ia membeberkan politik hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, "Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang(www.tintasiyasi,13/8/22).
Tentu viralnya berita tersebut di media sosial tidak lepas dari blow up opini media-media. Bahkan sangat disayangkan menunjukkan islamofobia masih sangat kuat di Indonesia. Tampaknya, media mainstream lebih condong berpihak kepada upaya kriminalisasi syariat.
Ada upaya memposisikan kasus Banguntapan bertentangan dengan Permendikbud 82/2015 terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan yang harus dilaksanakan di satuan pendidikan. Selain itu juga mempertentangkan upaya sekolah membiasakan siswi muslimah berjilbab dengan Permendikbud 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Semuanya dalam konteks mempermasalahkan penerapan syariat jilbab di lingkungan pendidikan dasar dan menengah(muslimah news,14/8/22)
Bagaimanapun, upaya menerapkan syariat secara utuh dalam kondisi negara yang memisahkan agama dengan kehidupan akan selalu menjadi buah simalakama. Ini tersebab asas Islam adalah akidah Islam yang bertentangan dengan sekularisme. Islam menghendaki penerapan syariat bukan ala prasmanan, yakni syariat dipilih dan dipilah sesuai selera manusia, namun secara keseluruhan.
Pada satu sisi menyatakan pemaksaan,sementara itu, disisi lain siswi yang bersangkutan telah dimintai persetujuan dan telah menyatakan kesediaan diberi contoh pemakaian jilbab. Artinya, ada perbedaan interpretasi oleh sejumlah pihak atas suatu tindakan tertentu dalam hal ini pemakaian jilbab pada salah satu siswi muslimah SMAN 1 Banguntapan. Tersebab problemnya soal interpretasi suatu tindakan, perlu penelaahan terlebih dahulu paradigma yang digunakan masing-masing pihak untuk menerjemahkan suatu tindakan.
Islam adalah agama yang sempurna. Islam menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Islam pun mensyariatkan hukum menutup aurat (berkhimar dan berjilbab) bagi perempuan yang sudah akil balig sebagai kewajiban, bukan anjuran maupun pilihan bebas. Ada banyak kebaikan di balik syariat berjilbab ini, salah satunya perlindungan terhadap perempuan dari pelecehan seksual.
Islam memerintahkan kepada orang tua, para pendidik, negara, dan masyarakat untuk membangun suasana sadar syariat di tengah kehidupan para peserta didik. Sebaliknya, Islam melarang negara, masyarakat, dan keluarga untuk menghalangi peserta didik menjalankan syariat berjilbab. Bukankah syariat pasti baik karena datang dari Zat yang Maha baik? Walhasil, setiap kebaikan harus terus dipupuk dan didukung dengan segala perangkat yang dimiliki negara agar kebaikan terus tumbuh dan berpengaruh secara luas.
Dengan demikian, seorang guru yang memakaikan kerudung kepada siswi muslimah yang sudah akil balig tidak boleh disebut pemaksaan berjilbab. Kebijakan sekolah mempersuasi siswi muslimah untuk mengenakan seragam yang menutup aurat (seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan) tidak boleh diposisikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundangan, entah SKB Menteri maupun UU Sistem Pendidikan. Seyogianya negara justru memberi penghargaan pada sekolah yang berhasil “membangun sistem” yang diridai Allah (Swt.).
Melanggar syariat membawa konsekuensi pelakunya berdosa dan mendapat sanksi dari negara.
Oleh karenanya, pemerintah harus segera menghentikan segala bentuk sekularisasi pendidikan. Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas muslim. Mayoritas pelajar dan mahasiswa adalah muslim. Mereka diwajibkan oleh Islam untuk taat syariat secara utuh. Tidak ada kaitannya dengan soal tirani mayoritas dan diskriminasi minoritas.
Negara harus membuat regulasi yang mengantarkan peserta didik untuk menjalankan semua ketaatan, baik di lembaga pendidikan umum maupun keagamaan. Pilihan untuk mengikuti syariat diberikan kepada peserta didik yang nonmuslim saja karena Islam tidak memaksa dalam perkara keyakinan dan ibadah. Islam akan membuat regulasi umum bagi nonmuslim dalam masyarakat Islam.
Perihal pakaian, siswi dan mahasiswi muslimah wajib menutup aurat dengan berjilbab dan berkerudung. Agar muncul kesadaran dalam diri mereka untuk taat, negara perlu memberikan porsi materi pelajaran agama lebih dari yang selama ini ada. Bukankah pendidikan sendiri merupakan proses sadar membangun pemahaman menciptakan pembiasaan baik sepanjang hayat?
Sebaliknya, negara harus bersikap tegas terhadap siapa saja yang berupaya menghalangi peserta didik untuk menjalankan kewajiban agamanya. Negara juga perlu mempersyaratkan semua media untuk membersihkan konten yang bernada islamofobia agar generasi tidak lagi takut untuk taat. So, Islam telah memberikan solusi, mengapa enggan mengambil kebaikan darinya?
Jikalau negara mau mengambil syariat Islam dan menerapkannya secara kaffah, kasus dugaan pemaksaan dan diskriminasi soal jilbab tidak akan terjadi. Masyarakat muslim dan nonmuslim akan hidup berdampingan secara harmonis. Sebagaimana dahulu, kondisi masyarakat pada masa Islam berhasil melebur kehidupan warga negara muslim dan nonmuslim menjadi satu bentuk kehidupan yang khas, tenteram dalam masyarakat yang beragam. Wallahualam.
Tags
Opini