Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia. Menurut data United States Geological Survey (USGS) AS, pada 2021, produksi nikel Indonesia mencapai angka sejuta metrik ton sehingga 37,04% nikel dunia berada di Indonesia. Sebanyak 90% cadangan nikel Indonesia tersebar di beberapa wilayah, di antaranya Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. (Sindo News, 22/04/2022).
Sayangnya, mayoritas perusahaan tambang nikel dikuasai oleh asing. Misalnya, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang menguasai 50% produksi hilir nikel. Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan antara Tsanghan Steel Holding asal Cina (66,25%) dan perusahaan lokal PT Bintang 8 Mineral (33,75 %). Selain itu, perusahaan Cina lainnya, yaitu PT Virtue Dragon Nickel Industri, menguasai 11% produksi.
Perusahaan milik Indonesia sendiri hanya menguasai kurang dari 30%. PT INCO hanya mampu menguasai 22% dan PT ANTM 7%. Artinya, hampir 70% penambangan nikel dikuasai perusahaan Cina. Ini pula penyebab Tesla lebih memilih membeli nikel langsung ke perusahaan Cina yang menambang di Indonesia.
Padahal, seiring perkembangan mobil listrik secara global, sebagai penghasil terbesar bahan baku baterai (nikel), Indonesia seharusnya bisa menjadi pemain utama. Mirisnya, hal ini hanya mimpi pada siang bolong karena asinglah yang makin mengeksploitasi SDA Indonesia.
Ada teori mengenai suatu paradoks, yakni ketika negara yang memiliki kekayaan SDA justru kesejahteraan masyarakatnya buruk serta pertumbuhan ekonominya lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Teori ini nyatanya terjadi di Indonesia.
Makin banyak perusahaan asing yang bercokol di tanah air, tetapi kehidupan masyarakat malah makin sengsara. Keberadaan pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan besar dianggap sesuai dengan kompetensi para petani, sehingga dinilai di bawah UMR. Itu pun dengan jumlah lowongan yang jauh lebih sedikit daripada petani yang kehilangan sawahnya.
Belum lagi urusan pencemaran lingkungan akibat limbah industri. Sungai-sungai tercemar, daerah resapan berubah menjadi kawasan industri dan perumahan. Akhirnya, berkali-kali Batang terkena bencana banjir rob. Belum lagi eksternalitas akibat kawasan industri, seperti prostitusi yang makin menambah deretan hitam pembangunan ala kapitalisme.
Sejatinya, kemalangan yang menimpa negeri-negeri kaya SDA adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Liberalisme menjadi spirit aturan kepemilikannya. Wajar jika 70% tambang nikel justru dikuasai oleh asing.
Semua itu karena penguasa dalam sistem demokrasi hanya akan berdiri bersama korporasi. Ia mendulang keuntungan dari proyek-proyek akbar, seperti proyek tambang nikel di Sulawesi yang penuh kasus korupsi.
Oleh karenanya, pengerukan tambang nikel yang menyebabkan berbagai kerusakan berat hanya bisa selesai tatkala paradigma kebebasan kepemilikan diubah menjadi kepemilikan yang dibatasi. Paradigma “penguasa berdiri bersama pengusaha” juga harus diubah menjadi berorientasi melayani dan melindungi rakyatnya.
Wallahu a’lam bi ash showab.