Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial dan Keluarga
Tahun ini, pemerintah melakukan berbagai upaya demi mendapatkan dana segar untuk menambal APBN. Seperti biasanya, kebijakan yang sangat praktis dan tidak perlu pusing tujuh keliling adalah lewat kenaikan pajak.
Pemerintah resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%. Kebijakan ini mulai berlaku pada Jumat (01/04/2022). Pemerintah mengeklaim penetapan tarif PPN 11% ini berdasarkan pasal 7 UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kebijakan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% berlaku mulai 1 April 2022 lalu. Seperti dilaporkan oleh detikfinance sebelumnya, kebijakan tersebut juga sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pakar perpajakan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Elia Mustikasari mengatakan, hal ini memang memberatkan masyarakat. Namun, kenaikan PPN tersebut dinilainya bukan satu-satunya faktor yang memberatkan masyarakat. Faktor pemberat lainnya adalah berbagai peristiwa yang tidak dapat diprediksi.
Alih-alih ingin melakukan perbaikan ekonomi masyarakat, dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini bisa jadi sangat besar. Pasalnya, beberapa objek yang menjadi target dari pajak ini menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sembako, dll.
Ekonom senior Rizal Ramli kembali membuat pernyataan menohok untuk Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mulai menerapkan kenaikan PPN 11 persen pada bulan April.
Dikutip dari akun twitter pribadinya, yakni @RamliRizal, Rabu (13/4/2022), mantan Menko Kemaritiman di periode pertama Presiden Jokowi itu, menuliskan begini. “Ini dampak dari utang jor-joran. Yang bayar akhirnya rakyat juga. Menkeu miskin inovasi, bisanya hanya ngutang dan naikin pajak.”
Berdasarkan hasil survei nasional oleh Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA), sekitar 77,37% responden menolak kenaikan PPN 11% ini (www.Kompas.com, 20/7/2022). Menurut para ekonom, kenaikan PPN menjadi 11% diperkirakan akan mendorong inflasi di atas 1,4%. Kenaikan PPN juga akan berpengaruh pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik untuk nonsubsidi, serta penyesuaian harga liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi untuk ke sekian kalinya.
Kebijakan ini tentu sangat berbahaya. Kebijakan ini akan makin menambah beban hidup masyarakat karena berefek meningkatkan harga sejumlah barang dan jasa ditingkat konsumen.
Semua problem tersebut diduga kuat dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalismelah yang menjadi penyebab utamanya. Kapitalisme yang menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan umum kepada swasta atau dengan kata lain, individu telah merampas hak-hak masyarakat secara umum.
Paham ini juga telah menginternalisasi dalam kekuasaan sehingga terbentuk oligarki. Mereka adalah sekelompok pengusaha yang mampu mengendalikan pemerintahan, termasuk mampu mendikte kebijakan. Akibatnya, banyak kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat. Distribusi kekayaan hanya berputar pada orang – orang kaya. Demi menambal kekurangan anggaran negara, mereka memeras rakyat tanpa memikirkan realita. Rakyat sudah sulit hidupnya, pajak yang menggingit masih harus ditelannya. Mungkin ada yang berkata, pajak hanya untuk pengusaha. Namun akhirnya, rakyat juga yang akan menanggung pajak mereka. Karena pasti para pengusaha membebankan pajaknya pada konsumennya.
Wallahualam bissawab.