Oleh: Siti Aminah
Pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh. Lalu apakah ini artinya mereka yang memiliki NIK otomatis menjadi wajib pajak dan membayar pajak? Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan, setiap orang pribadi yang memiliki NIK tidak otomatis menjadi wajib pajak dan tidak diharuskan membayar pajak disampaikannya melalui unggahan Instagramnya @prastowoyustinus pada Minggu, 24/7/2022.
Penggunaan NIK Sebagai NPWP menjadikan masyarakat tak perlu lagi mencatat begitu banyak nomor identitas sedangkan pemerintah akan mudah memberikan pelayanan masyarakat lantaran hanya menggunakan NIK sebagai identitas tunggal. Namun, apakah benar nanti akan mudah untuk mengurus administrasi, atau malah akan mempersulit administrasi bila tidak membayar pajak? Siapa yang akan tahu, bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Rezim ini tidak bisa ditebak.
Bersamaan dengan turunnya berita NIK dan NPWP ini, seruan #stopbayarpajak mengemuka. Tak salah memang, hal ini adalah refleksi kekhawatiran akan beratnya beban rakyat dengan semakin beragamnya objek pajak. Karena pajak telah dijadikan sumber utama pemasukan negara selain hutang.
Saat rakyat menyuarakan keinginan bebas dari beban pajak, pemerintah justru menerapkan aturan yang memastikan tidak ada yang lolos dari jerat pajak. Identitas kependudukan diintegrasikan menjadi kartu wajib pajak. Jika benar, maka kebijakan jelas menggambarkan betapa rezim sekuler kapitalis adalah rezim pemalak,memeras rakyat.
Kapitalisme tidaklah memberi solusi bagi rakyat yang sedang mengalami kesusahan setelah menghadapi krisis ekonomi yang disebabkan oleh virus korona, malah ia menjadi penyebab utama permasalah rakyat.
Sistem Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara, oleh karena itu semua warga negara wajib membayar pajak. Hal ini jelas terlihat dari APBN Indonesia tahun 2020 yang menjadikan pajak ada di posisi teratas dalam pendapatan negara, sedangkan pendapatan non pajak hanya 20 persen saja.
Berbeda dengan sistem Islam yang tidak memungut pajak. Dalam sistem Islam pajak bukan sumber pendapatan tetap, tapi temporer. Ketika pendapatan yang rutin tidak cukup untuk mendanai pos-pos yang wajib bagi negara, negara bisa memungut pajak. Ini hanya dikenakan kepada penduduk yang Muslim dan diambil dari kelebihan harta pokoknya saja yaitu kebutuhan primer dan sekunder.
Penarikan pajak ini tidak boleh menzalimi baitul maal, yaitu jika kebutuhan baitul maal besar maka pajak ditarik dengan jumlah yang lebih besar. Tapi pada saat penarikan harus diperhatikan agar tidak membebani rakyat. Jadi harus ada keseimbangan, maka diperlukan ahli yang bisa mengetahui berapa pendapatan kaum Muslimin di dalam negara.
Tags
Opini