Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Dalam Alqur'an Surah At-Taubah ayat 36, Allah mengabarkan 4 bulan agung (bulan-bulan haram) yang wajib dimuliakan yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Pada bulan-bulan ini umat Islam dilarang menganiaya diri sendiri dan sebaliknya dianjurkan memperbanyak amal saleh. Allah menjadikan empat bulan ini (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) sebagai bulan haram (asyhurul-hurum). Siapa yang beramal saleh pada bulan tersebut maka Allah akan melipatgandakan pahalanya. Sebaliknya siapa yang berbuat maksiat pada bulan-bulan itu maka dosanya berlipat pula.
Selain sebagai salah satu bulan haram, Muharram adalah moment istimewa kaum muslimin karena bertepatan dengan hijrahnya Rosulullah ke Madinah. Hijrah yang dilakukan setelah 13 tahun dakwah di Kota Makkah itu telah mengubah kaum Muhajirin yang tertindas (mustadh’afin) menjadi warga masyarakat di Kota Madinah selain kaum Ansar. Bahkan, mereka menjadi pelopor perubahan dunia pada masa berikutnya.
Hijrah itu juga telah mengubah keadaan kaum musyrik penyembah berhala dari kalangan Aus dan Khazraj di Kota Madinah menjadi orang-orang mukmin yang telah menolong dan melindungi perjuangan Nabi Muhammad saw. Lebih dari itu, mereka menjadi kaum yang mulia sebagaimana disebut-sebut dalam Al-Qur’an maupun Sunah.
Hijrah itu pula yang telah mengubah kaum muslim, yang pada awalnya merupakan kelompok dakwah di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw., menjadi suatu umat yang memiliki kemuliaan, kedudukan, dan kekuasaan. Rasulullah saw. pun akhirnya menjadi seorang penguasa (al-hâkim) yang menjalankan pemerintahan dan kekuasaan menurut apa yang diturunkan Allah Swt. kepada beliau.
Hijrah telah mengubah masyarakat Madinah yang terpecah-pecah dalam kabilah-kabilah menjadi satu umat dan satu negara di bawah kepemimpinan risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw.. Hijrah itulah yang menandai perubahan suatu masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam yang memiliki peradaban yang luhur karena diliputi oleh nilai-nilai dan hukum-hukum Ilahi.
Inilah awal bersatunya berbagai bangsa yang memiliki hukum, tata negara, adat-istiadat, serta bahasa yang berbeda-beda menjadi umat yang satu. Hukum tata negaranya satu. Bahasanya satu di bawah naungan Islam. Mereka menjadi satu umat (ummat[an] wâhidah).
Dengan hijrah, kekufuran lenyap diganti keimanan. Jahiliah musnah tertutup cahaya Islam. Ketertindasan berubah menjadi kemuliaan dan keagungan. Murka Allah Swt. sirna. Sebaliknya, rida-Nya datang.
Dalam konteks kekinian, hijrah harus kita maknai sebagai upaya mengubah sistem jahiliah yang saat ini banyak diterapkan di berbagai negeri kaum muslim—kapitalisme sekular dan sistem politik demokrasi—menjadi sistem Islam.
Berbagai perilaku jahiliah bahkan lebih masif lagi terjadi, seperti perzinaan yang secara terbuka dipertontonkan, kampanye L687 yang tanpa malu dilakukan, pabrik minuman keras yang secara legal memproduksi jutaan minuman haram, aborsi yang sejatinya merupakan pembunuhan terhadap jutaan nyawa, hingga konflik antara elite yang memperebutkan kursi dan kekuasaan lima tahunan.
Kondisi ini tentu harus kita ubah. Jika kita menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan, perubahan yang harus kita lakukan haruslah perubahan totalitas dan fundamental. Persis sebagaimana Rasulullah saw. ketika mengubah masyarakat jahiliah yang rusak menjadi masyarakat Islam yang beradab. Perubahan yang harus kita lakukan bukan sekadar perubahan individual, tetapi perubahan sistem kehidupan.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb