Penulis : Nur Rahmatul Lailiyah
Baru-baru ini masyarakat diberikan hiburan dengan seruan boikot pajak yang dilakukan oleh salah satu partai calon kontestan pemilu mendatang. Namun sayangnya seruan ini langsung disambut dengan ancaman bui kepada partai tersebut, alhasil bebas pajak bagi masyarakat pupus bak bunga yang layu sebelum berkembang.
Seruan tersebut tentu tanpa alasan, dilatar kondisi ummat yang terhimpit dengan beragam pajak, maka tak heran seruan ini terlontarkan. Terlebih baru-baru ini pemerintah justru berrencana akan menjadikan NIK sebagai nomor waib pajak, sehingga otomatis NIK ini akan terintegrasi dg pemungutan pajak oleh penguasa. Ini tak lebih pemalakan tersistem oleh pihak yang seharusnya mengayomi rakyat.
Lucunya pemerintah melalui mentrinya menanggapi, “Bagi Anda yang tidak bayar pajak, ya berarti Anda tidak ingin tinggal di Indonesia atau tidak ingin lihat Indonesia bagus. Gitu aja. Jadi saya rasa tidak perlu ditanggapi karena itu berarti mereka tidak cinta Indonesia,” ujar Menkeu Sri Mulyani dalam perayaan Hari Pajak di Jakarta. (Okezone, 21/07/2022).
Mirisnya kondisi masyarakat kita, terlebih pasca pandemi, tidak berada dalm kondisi yang dikatakan baik-baik saja secara ekonomi jumlah angka pengangguran menjadikan kemiskinan kiantidak teratasi, kesenjangan sosial juga semakin lebar. Nah, siapa yang tidak mencintai siapa sebenarnya? Karena faktanya masyarakat sendiri sudah banyak dipungut pajak disana-sini dalam jangka waktu lama. Dan apakah kecintaan terhadap negri hanya diukur sebatas itu? Jajaran pejabat yang gajinya melinpah ruah bagaimana?
Alhasil menjadi sebuah pertanyaan retoris pula kepada penguasa. Apakah mungkin solusi menggeliatkan pajak pada masyarakat akan berujung padang membaiknya kondisi ekonomi bangsa ini?
Kebijakan pajak hari ini sesungguhnya lahir dari sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi. Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama kas negara. Wajar saja pungutan pajak makin digencarkan seiring anggaran yang makin defisit.
Mengapa APBN bisa defisit? Selain karena utang yang meninggi, sumber penerimaan negara dari pengelolaan SDA yang seharusnya mampu menutupi seluruh kebutuhan pengelolaan negara, malah dikuasai asing. Jadilah sebagian besar keuntungannya digondol asing. Padahal, andai saja pengelolaan SDA bisa dilakukan sendiri, niscaya kebijakan pajak sudah tidak diperlukan.
Namun, apa daya, liberalisasi kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalisme membolehkan penguasaan asing atas aset-aset negara. Hampir seluruh SDA dalam negeri dikuasai swasta, baik lokal ataupun asing.
Begitu pun sistem politik demokrasi, menjadikan banyak pejabat terlibat transaksi politik dengan para pengusaha.
Kontestasi yang sangat mahal meniscayakan keterlibatan cukong dalam prosesi pemenangan. Pejabat yang menang—mau tidak mau—”harus” mengembalikan apa pun yang telah didapat. Inilah yang melahirkan kebijakan yang pro korporasi.
Oleh sebab itu, wajar jika pejabat tampak tidak mampu meringkus pengusaha yang mangkir dari pajaknya, tetapi tega memenjarakan rakyat miskin yang tidak taat pajak. Wajar pula jika pembangunan infrastruktur sesuai dikte pengusaha, bukan berdasarkan kemaslahatan umat.
Sungguh, sekelumit persoalan pajak sejatinya bukan hanya lahir dari rakusnya tikus berdasi, melainkan juga lahir dari sistem politik dan ekonomi yang tidak pernah menjadikan manusia sebagai fokus kerjanya, yaitu demokrasi kapitalisme.
Dalam islam pajak tidak dijadikan sebagai sumber utama dalam penerimaan baitul mal (sebutan APBN di sistem islam). Perlu diketahui, dharibah atau pajak dalam Islam jauh berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga. Hanya kaum muslim yang kaya saja yang dipungut dharibah. Skema pemungutannya pun bersifat temporal, hanya jika kas negara kosong dan saat itu butuh dana sesegera mungkin. Misalnya, ketika negara butuh dana untuk menanggulangi bencana, tetapi kas negara kosong, kewajiban pun jatuh pada kaum muslim yang kaya. Dari sinilah dipungut dharibah atas mereka. Akan tetapi, setelah kas negara terisi kembali dan keperluan selesai, penarikan dharibah harus dihentikan.
Meski demikian, kondisi baitulmal yang kosong sangat jarang terjadi. Ini karena ada regulasi kepemilikan yang mengharamkan swasta untuk memiliki SDA yang menjadikan sumber kas negara melimpah. Begitu pun pengeluaran yang mengenal skala prioritas, akan menahan pembangunan yang dianggap tidak urgen dibutuhkan umat.
Oleh karenanya, perlu tersampaikan pada umat bahwa negara mengemis pajak pada rakyatnya hanya akan ditemukan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Padahal, pajak bukanlah satu-satunya sumber pemasukan negara. Ada sumber pemasukan lain yang seharusnya masuk kas negara. Akan tetapi, akibat liberalisasi kepemilikan, sumber pemasukan tersebut malah masuk kantong korporasi.
Perlu juga tersampaikan bahwa penguasa rakus yang tega mengambil uang rakyat dan menetapkan kebijakan yang pro korporasi sejatinya lahir dari sistem politik demokrasi.
Seyogianya, tagar #StopBayarPajak dibarengi dengan tagar #StopDemokrasiKapitalisme. Sistem inilah penyebab rakyat sengsara dan hingga akhir hayatnya tidak bahagia secara hakiki. Supaya bebas pajak tidak menjadi sekedar mimpi perjuangan untuk menjadikan islam sebagai aturan dalam seluruh kehidupan semestinya menjadi agenda utama dalam menyelesaikan apapun persoalan ummat.
Tags
Opini