Oleh : Tri Silvia
(Pemerhati Masyarakat)
.
.
Peringatan hari kemerdekaan telah berlangsung, hiruk pikuk kesibukan masyarakat pun amat terekam jelas. Entah, dalam bentuk hiasan jalan yang meriah, pawai kemerdekaan, ataupun lomba-lomba yang diadakan untuk para anak dan orang tua. Semua dibuat semeriah mungkin, hanya dengan satu tujuan yakni memperingati hari kemerdekaan negeri ini.
Betul, 17 Agustus 1945 merupakan tanggal yang ditetapkan sebagai tanggal kemerdekaan negeri ini. Telah 77 tahun lamanya negeri ini merdeka dari berbagai penjajahan fisik yang melanda, baik yang dilakukan oleh Jepang maupun Belanda kala itu. Namun apa betul, negeri ini telah merdeka seutuhnya?
Mungkin sebagian orang menganggap pertanyaan diatas adalah pertanyaan yang absurd bahkan tak penting untuk ditanyakan. Mereka menganggap istilah merdeka telah paten dan tidak boleh diusik ataupun diganggu gugat. Padahal nyatanya kondisi saat ini sangat jauh dari makna kemerdekaan itu sendiri.
Merdeka dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. Artinya, sebuah negara yang merdeka tidak bergantung pada negara lainnya. Dia pun tidak bisa ditekan, diintervensi ataupun terikat dengan negara adidaya sekalipun. Lantas apakah kondisi kita hari ini sudah sampai ke arah sana?
Selain dari sisi kebahasaan, masing-masing orang pun pasti memiliki pengertian khusus tentang kata merdeka. Bagi sebagian orang mungkin merdeka diartikan sebagai sebuah kondisi bebas berkarya dan berekspresi, selain itu ada pula yang mengartikan sebagai bebas dari segala penghambaan, bebas dari kebodohan dan kemiskinan, juga bebas dari segala ketertindasan.
Semua makna kemerdekaan di atas, sungguh masih jauh panggang daripada api. Masyarakat hari ini masih berkubang dengan kebodohan dan kemiskinan, mereka pun belum terlepas dari penghambaan dan ketertindasan. Sebaliknya, mereka justru terbelenggu dengan makna kebebasan sebebas-bebasnya tanpa mengenal aturan. Hawa nafsu didahulukan, namun agama mereka tinggalkan. Orang bicara keuntungan diutamakan, dakwah Islam kaffah justru didustakan. Mereka benar-benar terkekang dan terkurung dalam sistem penghambaan, untuk menghamba pada para kapital dan para cukong-cukong besar.
Lihatlah bagaimana anak-anak jatuh bertumbangan sebab bullying yang semakin menjadi-jadi. Begitupun gaya hidup hedon yang secara gila-gilaan mereka tunjukkan. Gaya hidup yang sesungguhnya tak menunjukkan apapun, kecuali kebodohan dan hilangnya rasa malu. Kehidupan L98t yang menjamur pun seakan menjadi tren kekinian, yang menjadi jalan pintas bagi mereka dapatkan popularitas.
Mereka tak lagi berpikir jauh tentang masa depan negara dan agamanya. Jangankan untuk itu, berpikir tentang masa depan sendiripun mereka bahkan tak mau. Berpesta pora, berzina, minum-minuman keras mereka lakoni seenaknya. Mengandalkan orang tua, mereka hidup sesukanya. Seakan-akan hidup akan bertahan selama-lamanya. Sungguh, prinsip mereka untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal adalah hal yang nyata.
Lalu, bagaimana dengan keadaan kekayaan alam yang ada? Sungguh Allah telah menganugerahkan kekayaan alam luar biasa pada rakyat Indonesia. Hampir setiap jengkal negeri ini mengandung kekayaan, baik di darat, lautan, pegunungan, hutan, bahkan satwa yang ada pun telah diakui keunikannya, dan semuanya terbukti sangat berharga.
Namun apa daya, akibat sistem kapitalis hari ini, kekayaan alam yang dimiliki hanya dihambur dan diberikan cuma-cuma pada para kapital besar. Semua direlakan demi setitik harta tak berharga yang disebut sebagai pajak dan 'saham'. Kita memang punya undang-undang yang katanya bisa melindungi, namun nyatanya undang-undang tersebut terus saja diperbaharui. Dengan alasan untuk mengundang investor katanya, padahal faktanya itu dilakukan hanya untuk memudahkan mereka mengeruk harta kekayaan alam dengan seenaknya.
Sungguh rindu teramat sangat dengan masa-masa itu, dimana umat hidup dalam kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian. Tak hanya umat Islam, namun juga umat lain pun bisa merasakan hal yang sama. Sungguh rindu teramat sangat pada sistem pengaturan yang bersumber dari kalam Ilahiah semata. Tak ada hiruk pikuk keributan politik, perebutan kekuasaan dan juga jabatan.
Sungguh rindu teramat sangat pada kondisi, saat anak-anak dididik dengan penuh iman dan ketakwaan. Mereka tak hanya diberikan pelajaran namun juga pembinaan terkait akidah dan kepatuhan pada syariah. Mereka juga disiapkan untuk menjadi insan-insan terbaik umat yang bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemaslahatan Islam dan kemajuan umatnya. Mereka dididik untuk menjadi para pemuda tangguh yang tak kenal rasa takut, punya semangat jihad yang terus berkobar didalam diri. Mereka jauh dari kemaksiatan dan khusyuk dalam urusan ibadah.
Sungguh rindu teramat sangat pada kepemimpinan mulia, teladan Rasul dan para sahabat. Kepemimpinan yang berbasis keadilan bagi seluruh rakyat dibawah kuasanya. Tak ada satupun merasa teraniaya dan tidak seorangpun yang terzalimi. Semua sejahtera dibawah kuasanya, terpenuhi kebutuhan sesuai dengan fitrah. Kepemimpinan yang tak hanya mengurusi kebutuhan orang miskin saja, namun juga seluruh rakyat secara paripurna.
Sungguh rindu teramat sangat, pada sistem kepemimpinan Islam yang lurus dan tegas. Yang dengan ketegasannya mampu menaklukkan daratan Eropa dan seluruh negara jajahannya. Bagaikan singa jantan yang tak kenal rasa takut, seorang pemimpin dalam Islam akan senantiasa mengobarkan semangat jihad di hati rakyatnya. Membawa rahmat untuk seluruh alam, sejengkal demi sejengkal. Lewat futuhat yang menggema, slogan hidup mulia atau syahid sebagai syuhada membawa kekuatan besar yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Sungguh rindu teramat sangat pada sistem kepemimpinan yang selalu siap menjadi tameng dan pelindung utama rakyat yang tertindas. Kaum wanita dan anak-anak senantiasa dijaga sedemikian rupa oleh Sang Khalifah kebanggaan. Lihatlah bagaimana Mu'tashim Billah mengerahkan hampir seluruh pasukannya hanya untuk melindungi harga diri seorang wanita yang tengah dilecehkan. Lihat pula bagaimana para tentara khalifah menjaga lautan dan daratan dari para perompak juga pembegal, demi kenyamanan para jama'ah haji yang datang.
Rindunya diri ini dengan kemerdekaan hakiki. Kemerdekaan yang tidak hanya berarti terbebas dari belenggu penjajahan fisik, namun juga berbagai hambatan-hambatan lainnya. Termasuk penghambaan atas materi dan kesenangan. Kemerdekaan, dimana umat Islam punya hak untuk melaksanakan segala hukum-hukum syari'at sesuai dengan yang dicantumkan dalam Alquran dan hadis. Tak ada diskriminasi atas para ulama dan pendakwah yang tengah mensyiarkan agama secara kaffah. Islam dijaga kemurniannya, ajarannya diterapkan secara nyata. Dakwahnya pun disebarkan ke seluruh dunia. Dan semua itu hanya bisa terwujud secara nyata dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Ma’idah: 44)
“Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Ma'idah: 45)
“Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Ma’idah: 47).
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini