Krisis Pangan Kembali Terjadi di Papua, Bagaimana Peran Negara?



 
Oleh: Nabila Sinatrya  

Kabar mengejutkan berasal dari papua, karena sedang diserang wabah kelaparan. Papua menjadi salah satu wilayah Indonesia yang terkenal dengan kekayaan emasnya, namun siapa sangka wabah kelaparan berulang kali terjadi. Dilansir dari bbc.com/04/08/22 bahwa laporan sementara ada tiga orang meninggal, satu kritis, dan sekitar 500 orang kelaparan.  

Wabah kelaparan ini diduga karena faktor cuaca ekstrem yang menyerang Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Akibatnya terjadi kekeringan dan gagal panen padahal warga setempat menjadikan hasil kebun sebagai sumber makanan mereka dan efeknya kepada kelaparan dan kekurangan gizi.  

Dosen Pertanian Universitas Papua merasa ada yang mengganjal, pasalnya mayoritas warga setempat sebagai petani dan peladang, dan sudah terbiasa dengan perubahan iklim. Sehingga tidak menjadikan cuaca ekstrem sebagai satu-satunya factor pemicu kelaparan di Lanny.  

Eks Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menilai bahwa krisis pangan yang berujung pada kelaparan disebabkan karena pemerintah setempat sibuk mengurusi Otonomi Khusus dan pemekaran daerah baru (DOB). Wabah kelaparan yang menimpa daerah Papua berulang kali terjadi dan yang berturut-turut terjadi pada 2019, 2020, 2021, dan 2022.  

Bencana kelaparan berdasarkan terjadinya termasuk dalam slow-onset disasater, artinya bencana ini ancamannya terjadi secara perlahan. Karena seseorang yang tidak makan sampai akhirnya meninggal membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Satu hari tidak makan tidak membuat seseorang langsung meninggal, namun jika terus menerus terjadi maka dapat mengakibatkan busung lapar dan akhirnya meninggal.  

Menurut Aser Rouw, Peneliti Agroklimat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat, menilai bahwa faktor lain yang menyebabkan krisis pangan di Papua adalah luasan dan sebaran perkebunan warga. Apalagi sejak beras miskin masuk, membuat warga berganutng pada konsumsi beras miskin sehingga luas tanam ubi dan keladi berkurang. Juga aksesibilitas di Papua yang tidak bisa menggantungkan pangan dari luar.  

Inilah menjadi bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam mengatasi ketahanan pangan, karena sistem ini hanya beriorientasi kepada materi tanpa melihat kesejahteraan tiap-tiap individu. Ironis sekali ditengah sumber daya alam yang melimpah, tapi warga Papua masih jauh dari kata sejahtera. Pembangunan infrastruktur juga belum merata, hal inilah semakin memperparah krisis pangan. 

Tentu tidak akan terjadi jika sistem kehidupan mengadopsi aturan islam yang diterapkan dalam Khilafah. Dalam khilafah tiap-tiap individu akan dipastikan terpenuhinya ketahanan pangan dan kesejahteraannya. Sektor pertanian juga menjadi hal yang diperhatikan, Khilafah akan menghitung kebutuhan pangan nasional kemudia memetakan daerah yang berpotensi untuk lahan pertanian. Tidak berhenti disitu, khilafah akan menunjang secara penuh kebutuhan sarana pertanian mulai dari benih, pupuk, alat pertanian, dan infrastruktur lainnya yang menunjang lancarnya arus distribusi. 

Pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab, wilayah Hijza dilandan kekeringan. Kemudian Khalifah Umar mengirim surat kepada Amru bin ‘Ash yang pada saat itu menjadi wali Mesir mengenai kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk untuk mengirim pasokan.  Seperti di Papua, Khilafah akan memberikan insentif agar wilayah pegunungan papua dapat berdaulat atas kebutuhan pangan. Juga akan dibangun infrastruktur yang memudahkan akses keluar masuk. Begitulah pengaturan islam yang diwujudkan dalam Khilafah, rakyat akan mendapatkan kesejahteraan. Wallahu’alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak