Oleh : Venti Budhi Hartanti S.Pd.I
Baru-baru ini kembali mencuat diranah publik jilbab diwajibkan dikalangan sekolah merupakan pelanggaran HAM. Merupakan pemaksaan yang seharus tidak pantas dilakukan oleh suatu instansi sekolah kepada anak didiknya. Berita ini viral ketika terjadi disebuah sekolah.
Kali ini terjadi di SMAN 1 Banguntapan, Yogyakarta. Narasi dan opini yang dikembangkan di media adalah adanya “pemaksaan jilbab” oleh pihak sekolah kepada siswinya.
Padahal tidak ada pemaksaan sama sekali. Demikian hasil klarifikasi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY ke SMAN 1 Banguntapan Disdikpora. “Tidak ada pemaksaan dalam memakai jilbab itu,” kata Wakil Kepala Disdikpora DIY, Suhirman, usai klarifikasi terhadap SMAN 1 Banguntapan di Kantor Disdikpora DIY, Senin (1/8/2022).
Jelas, kasus ‘Paksa Jilbab’ di SMAN Banguntapan Yogya yang sengaja diviralkan sudah tidak bisa dianggap kasus biasa. Ini adalah kasus yang mengonfirmasi bahwa islamofobia itu nyata.
Di sisi lain, sekitar sebulan sebelumnya, sebagaimana diberitakan Kompas.com, ada siswi SD di Gunungsitoli Sumatera Utara menangis karena dilarang oleh pihak sekolah memakai jilbab di sekolah (Kompas.com, 14 Juli 2022). Terkait kasus ini kalangan islamofobia diam seribu bahasa.
Sungguh sangat disayangkan dinegeri yang mayoritas Islam, yang kita tahu bahwa jilbab dan kerudung merupakan salah satu bagian dari menutup aurat yang wajib dijalankan bagi seorang muslimah justru dikatakan sebagai pelanggaran HAM. Padahal jilbab dan kerudung merupakan peraturan yang itu langsung diperintahkan oleh Alloh SWT. Dan semua itu bentuk dari memuliakan seorang wanita.
Adapun kewajiban berjilbab bagi muslimah ditetapkan berdasarkan firman Allah Swt.,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ…
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri kaum mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka….'” (QS Al-Ahzab [33]: 59).
Kewajiban mengenakan kerudung (khimar) didasarkan pada firman Allah Swt.,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada kaum wanita mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa tampak pada diri mereka, dan hendaklah mereka memakai kerudung (penutup kepala) hingga menutupi dada mereka.” (QS An-Nur [24]: 31).
Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisân al-‘Arab: Al-Khimar li al-mar’ah: an-nâshif (khimar [kerudung] bagi perempuan adalah an-nâshif [penutup kepala]). Menurut Imam Ali ash-Shabuni, khimar (kerudung) adalah ghitha’ ar-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada) agar leher dan dadanya tidak tampak.
Bagi seorang muslimah, menutup aurat dengan memakai kerudung dan berjilbab ini tentu saja menjadi salah satu pembuktian keimanannya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Penyebabnya jelas, karena berkerudung dan berjilbab memang merupakan salah satu dari ketentuan syariat Allah Swt. dan Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak pada diri mereka….’” (QS An-Nur [24]: 31).
Ibnu Abbas ra. menyatakan yang dimaksud dengan frasa illâ mâ zhahara minhâ dalam ayat di atas adalah muka dan telapak tangan. Imam Ath-Thabari juga menyatakan, “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa tampak (pada wanita) adalah muka dan telapak tangan.” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, XVIII/94).
Menurut Imam An-Nasafi, yang dimaksud dengan “az-zînah” (perhiasan) di sini adalah “mawâdhi az-zînah” (tempat perhiasan). Artinya, ayat di atas bermakna, “Janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk mengenakan perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki.” (An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, 2/411).
Maka sudah sangat jelas bahwa jilbab dan kerudung tidak layak untuk dipersoalkan. Jika jilbab dan kerudung dikatakan sebagai pelanggaran HAM, maka artinya sama saja pelanggaran terhadap hukum syara. Dan artinya menantang ketentuan sang pemilik nyawa sang pemilik hukum yaitu Alloh SWT. Karena itu jelas, sebagai kewajiban syariat bagi muslimah, jilbab tidak layak dan tidak pantas dipersoalkan.
Karena itu, tentu kita pun meyakini bahwa perintah Allah Swt. kepada para wanita untuk berbusana muslimah (memakai kerudung dan berjilbab) pasti mengandung banyak kebaikan/manfaat sekaligus menghindari banyak keburukan/mudarat, khususnya bagi pemakainya dan umumnya bagi masyarakat.
Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Tidak hanya bagi kaum perempuan. Dengan tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Berbeda halnya saat kaum wanita biasa terbuka auratnya. Penyebabnya, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus yang merangsangnya.
Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan manusia terjerumus ke dalam perzinaan atau pemerkosaan. Realitas ini membuktikan kebenaran ayat tentang kewajiban berjilbab di atas: Dzâlika adnâ an yu’rafna falâ yu’dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu).
Oleh karena itu, jilbab bisa lebih melindungi wanita muslimah, membuat mereka lebih merasa aman, menjaga diri mereka dari gangguan lelaki usil, menjaga mereka dari objek pandangan lelaki yang hanya ingin ‘cuci mata’, menjaga diri mereka dari objek syahwat lelaki, menghindarkan diri mereka dari zina mata dan zina hati, dan lain-lain.
Karena dengan jilbab dan kerudung pula membedakan mereka dari orang kafir.
Oleh karenanya, pemerintah harus segera menghentikan segala bentuk sekularisasi pendidikan. Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas muslim. Mayoritas pelajar dan mahasiswa adalah muslim. Mereka diwajibkan oleh Islam untuk taat syariat secara kafah. Tidak ada kaitannya dengan soal tirani mayoritas dan diskriminasi minoritas.
Maka solusi dari permasalahan diatas. Negara harus membuat regulasi yang mengantarkan peserta didik untuk menjalankan semua ketaatan, baik di lembaga pendidikan umum maupun keagamaan. Pilihan untuk mengikuti syariat diberikan kepada peserta didik yang nonmuslim saja karena Islam tidak memaksa dalam perkara keyakinan dan ibadah. Islam akan membuat regulasi umum bagi nonmuslim dalam masyarakat Islam.
Maka dengan kata lain. Andai saja negara mau mengambil syariat Islam dan menerapkannya secara kafah, kasus dugaan pemaksaan dan diskriminasi soal jilbab tidak akan terjadi. Masyarakat muslim dan nonmuslim akan hidup berdampingan secara harmonis. Sebagaimana dahulu, kondisi masyarakat pada masa Khilafah berhasil melebur kehidupan warga negara muslim dan nonmuslim menjadi satu bentuk kehidupan yang khas, tenteram dalam masyarakat yang beragam. Wallahualam.
Tags
Opini